Keluarga Bu Buncing, Tetangga Kami yang Terasing

0 , Permalink 0

Robet anak Bu Buncing

Kelakuan Robet membuat perutku langsung mual.

Dengan cuek dia membuka celana, jongkok, lalu buang air besar (BAB) di depan kami. Padahal, kami sedang ngobrol dengan bapaknya.

Robet dengan muka datar, BAB sambil melihat ke arah kami. Tempat dia BAB bukanlah toilet tapi tempat terbuka di samping gubuknya. Dia jongkok di atas papan kayu yang melintang di atas selokan.

Gubuk di samping Robet benar-benar sebuah gubuk. Ukurannya hanya kotak sekitar 2×2 meter persegi. Dinding dan atapnya terbuat dari susunan barang bekas, seng dan tumpukan pakaian.

Di dalamnya ada satu kasur bekas dan tempat duduk. Di gubuk itulah Robet dan orang tuanya tidur. I Made Kacir, bapak Robet, mengajakku masuk. “Foto saja, Pak Lik. Biar nanti kami dapat bantuan,” kata Pak Kacir kepadaku.

Dia menunjuk ke arah kasur tempatnya biasa tidur. Aku memotretnya. Dia tertawa.

Lalu kami kembali ke depan rumah lainnya yang lebih besar. Rumah itu tak berbeda dengan gubuk tempat dia biasa tidur. Hanya ukurannya lebih besar. Dinding dan atapnya terbuat dari asbes dan seng bekas.

Baju dan celana bekas bergelantungan di dindingnya. Stiker pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Denpasar yang sekarang terpilih Rai Mantra – Dharmanegara tertempel di pintu rumahnya.

Hari ini, 14 Februari 20116, ketika banyak orang merayakan Valentine, aku menemani Bunda ke rumah Robet. Kami membawa beras, gula, dan roti.

Tak ada pertimbangan khusus kenapa kami berkunjung pada Hari Valentine. Hanya karena ini hari Minggu, kami libur, dan sedang ingat untuk berkunjung ke rumah mereka.

Kunjungan kami ke sana untuk menjaga hubungan baik kami sebagai (bekas) tetangga. Pada Galungan empat hari lalu, mereka mengantarkan jotan berupa ayam betutu, sesuatu yang aku yakin amat mewah dan mahal bagi mereka.

Saling mengantar jotan sudah jadi kebiasaan kami. Pada saat Idul Fitri, kami juga mengantar jotan ke rumah mereka, seperti halnya kami melakukannya ke tetangga dan keluarga di Bali.

Pak Kacir dan Robet dulunya tetangga kami di Subak Dalem. Kami mengenal keluarga ini sejak 2005 silam, ketika kami mulai tinggal di daerah Denpasar Utara ini.

Meskipun bertetangga, seperti umumnya kutukan pada warga urban, kami tak pernah tahu nama lengkap mereka. Hanya tahu nama panggilan si Robet, anak laki-laki pertama dengan gangguan jiwa yang tinggal bersama mereka, dan Bu Buncing, ibunya.

Baru hari ini kami tahu nama lengkap keluarga tersebut. Si bapak I Made Kacir, si ibu Ni Wayan Kerti, dan nama asli Robet I Kadek Awan. Ada satu lagi anak laki-laki terakhir dalam kartu keluarga mereka. Namun, dia sudah lama tak tinggal bersama keluarga tersebut.

Sepuluh tahun lebih sejak kami mengenal mereka pertama kali, kehidupan Bu Buncing tetap sama. Mereka tinggal di rumah sementara yang berdinding dan beratap asbes dan seng bekas. Serupa pakaian penuh tambalan.

Rumah mereka tidak pernah permanen. Sebab, mereka memang tidak punya hak membangun di lahan yang mereka tempati. Biasanya mereka tinggal di tanah tersebut atas kebaikan hati si pemilik. Itulah alasan mereka sudah tiga kali pindah sejak kami mengenalnya.

Pak Kacir si kepala rumah tangga tidak bekerja tetap. Hanya serabutan tapi lebih sering nganggur. Kadang bikin pupuk kandang dari kotoran sapi. Kami salah satu pembelin pupuknya. Dia memang memelihara sapi, kebiasaan yang dia bawa dari kampung kelahirannya, Tegalalang, Gianyar.

Pak Kacir pernah bekerja di tempat pengolahan ayam betutu di gang sebelah kami tinggal. Aku beberapa kali ketemu dia di sana ketika mau pesan betutu. Tapi, hari ini aku baru tahu kalau dia sudah berhenti bekerja di situ.

Maka, sumber pendapatan mereka sepenuhnya bergantung pada Bu Buncing. Perempuan paruh baya dengan wajah selalu terlihat memelas ini mencari sayur kangkung untuk dijual ke pasar. Dia selalu berjalan kaki dengan kepala membawa keranjang berisi jualannya.

Dalam sehari, paling banyak dia mendapatkan Rp 15.000. Uang segitu, apalah artinya untuk hidup di Denpasar.

Secara legal formal, keluarga ini memenuhi semua persyaratan sebagai warga miskin. Rumah berlantai tanah. Rumah berdinding asbes dan seng. Tidak ada listrik. Tidak punya kamar mandi dan toilet. Dan seterusnya.

Toh, mereka tidak pernah mendapatkan haknya. Tidak pernah ada bantuan negara untuk mereka. Alasannya, mereka bukan warga Denpasar, tempat di mana mereka saat ini tinggal. KTP mereka memang Tegalalang.

Jadilah mereka terasing di antara gemerlap Denpasar dan Bali.

“Mau ngapain balik ke Tegalalang. Di sana juga kami tak punya tanah. Tidak ada yang bisa dikerjakan,” kata Pak Kacir.

Maka, mereka pun memilih tinggal di gubuk mereka. Berpindah-pindah dari satu lahan pinjaman ke lahan pinjaman lainnya, seperti juga kali ini.

Rumah mereka berada di kawasan Denpasar utara. Kami melewati sisa-sisa sawah, menyusuri pematang penuh sampah plastik, kawasan kumuh, lalu tiba di rumah mereka yang bercampur dengan kandang sapi.

Sisa-sisa hujan membuat halaman rumah mereka makin kumuh. Tanah basah dan becek. Lumpur dan genangan air bercampur aduk dengan sampah, kotoran sapi dan kotoran Robet. Bau busuk dan pesing menguar di udara. Toh, itu sesuatu yang amat biasa bagi mereka.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *