Semula, dalam diskusi di Bali, tujuan utama kami ke Jogja adalah untuk belajar tentang penerbitan di Kanisius, salah satu penerbit di kota pelajar ini. Kanisius jadi pilihan utama karena lembaga tempatku kerja part time beberapa kali pernah mencetak buku di tempat ini. Juga karena Kanisius rajin menerbitkan buku-buku pertanian, isu yang kami tulis selama ini.
Namun, agar lebih banyak tempat, kami kemudian menambahnya dengan kunjungan ke beberapa tempat lain. Antara lain Insist Press, petani lahan pasir di Kulon Progo, sekolah alam Nitiprayan, sekolah alternatif di Salatiga, dan perusahaan pertanian organik di Sukoharjo.
Karena tujuan utamanya adalah ke Kanisius, maka kami menyediakan waktu khusus satu hari untuk berkunjung ke tempat ini. Padahal lokasinya masih di dalam kota Jogja, meski agak di daerah pinggiran. Satu hari khusus ini agar tidak terganggu dengan agenda lain.
Saking semangatnya, kami datang terlalu awal. Sebelum pukul 9 pagi, mobil sewaan kami sudah masuk pelataran parkir penerbitan Kanisius yang adem itu. Untungnya ada toko buku besar di bagian depan halaman ini.
Toko ini buku ini lebih besar dibanding Gramedia Matahari Denpasar. Mungkin juga lebih besar dibanding toko buku sejenis di Galeria Simpang Siur Kuta. Toko buku ini menjual hanya buku-buku terbitan Kanisius atau penerbit jaringannya. Jenis bukunya antara lain agama, filsafat, humaniora, pendidikan, pertanian, dan psikologi.
Gedung tempat toko buku ini terdiri dari dua lantai. Lantai bawah untuk toko itu sendiri. Lantai atas, untuk kantor. Meski demikian di lantai satu juga ada beberapa ruangan untuk kantor. Di pojok toko buku ini juga ada tempat lesehan untuk anak-anak baca buku atau sekadar main acak huruf.
Toko buku di bagian dekat pintu masuk ini hanya salah satu bagian dari kompleks Kanisius. Di samping toko buku ada halaman dengan pohon-pohon besar rindang. Ada panggung besar di ujung halaman. Sepertinya lapangan ini sering dipakai kegiatan. Kawasan yang teduh dengan buanyak banget pohon memang jadi kesan tersendiri pas masuk Kanisius. Adem.
Penerbitan dan percetakan Kanisius ada di daerah Gejayan, Jogjakarta bagian utara. Tidak jauh dari dua kampus swasta ternama, Universitas Atmajaya dan Universitas Sanata Dharma. Dua kampus ini, setahuku, juga milik lembaga Katolik, seperti halnya Kanisius.
Kami melihat-lihat, tanpa membeli satu pun, buku di toko ini sampai pukul 9. Kami kemudian masuk ke resepsionis. Tapi, alamak, ternyata yang harus menyambit, eh, menyambut kami pun belum siap.
Staf redaksi yang cantik mengantar kami ke toko buku lagi. Aku pikir kami akan mulai penjelasan soal Kanisius dari toko ini. Ternyata tidak. “Silakan ditunggu dulu ya di sini. Kami masih menyiapkan bahan-bahan untuk diskusi nanti,” kurang lebih begitulah kata si mbak yu itu.
Walah, ternyata kami harus kembali liat-liat buku lagi. Padahal tadi sudah menahan malu karena hanya melihat-lihat tanpa beli buku. Apa boleh buat, kami kembali menahan malu yang sekarang malah bertambah. Hehe..
Tapi untungnya tidak lama kemudian mbak yu cantik itu kembali masuk ke toko buku. Mengajak kami pindah ke kantor Kanisius. Kami lalu berdiskusi di ruang rapat.
Pak Pri, Direktur Humas dan Bu Rini, Manajer Redaksi Kanisius yang menemui kami. Inilah beberapa hal yang kami diskusikan.
Sebagai yayasan Katolik, Kanisius yang berdiri pada 1922, sebenarnya memiliki empat kegiatan utama. Sekolah SD hingga SMA terutama di desa-desa, pusat industri kayu (PIKA) di Semarang, pusat latihan pertanian di Salatiga, dan penerbitan di Jogja.
Fokus diskusi kami, tentu saja, pada penerbitan. Kanisius menerbitkan tiga majalah yaitu Basis untuk kalangan intelektual, Utusan untuk umat yang awam, dan Rohani untuk yang tingkat spiritualitasnya lebih tinggi. Semua bernafaskan Katolik, meskipun majalah Basis bisa saja dibaca untuk kalangan umum, tidak hanya umat Katolik.
Selain tiga majalah itu, Kanisius menerbitkan buku. Awalnya buku yang diterbitkan lebih banyak untuk pertanian. Biasanya dari pengalaman Kanisius di lapangan yang kemudian dibukukan.
Selain dari pengalaman sendiri, buku juga diperoleh dari penulis-penulis di luar lingkaran internal Kanisius. Menurut Pak Pri ada tiga pola yang biasa dilakukan untuk mendapat tulisan. 1) Mencari sarang-sarang penulis pertanian, (2) mengunjungi dan berdiskusi dengan penulis potensial, maupun (3) ke pusat-pusat pelatihan pertanian.
Penulisnya ada lembaga, ahli pertanian, penulis freelance, maupun Departemen Pertanian (Deptan). “Tapi Deptan susah diajak. Terlalu birokratis,” kata Pri.
Tema pertanian yang ditulis Kanisius beragam. Ada pertanian, peternakan, perikanan, hobi, dan teknologi tepat guna. Saat ini buku paling laris di pasaran adalah soal hobi. Misal bercocok tanam anggrek, aglonema, anturium, dan seterusnya.
Selain dengan cara mencari penulis, Kanisius juga banyak menerima tulisan dari luar. Seleksi tulisan ini biasanya berdasarkan bagus tidaknya naskah, kebutuhan pasar, serta penting tidaknya naskah tersebut.
Oya, sekali lagi, pertanian hanya salah satu isu yang digarap oleh penerbitan Kanisius. Di luar tema ini, Kanisius juga menerbitkan banyak buku lain. Aku sendiri tidak terlalu suka dengan buku terbitan Kanisius karena, bagiku, Kanisius identik dengan naskah yang agak jadul. Sekadar contoh, buku filsafat Kanisius lebih banyak soal sejarah filsafat, aliran-aliran filsafat, dan semacamnya.
Kalau toh ada buku-buku Kanisius yang aku punya, biasanya buku filsafat yang lebih ngepop. Misalnya Nietszche untuk Pemula, Foucault untuk Pemula, dan semacamnya. Meski isinya berat, buku-buku ini disampaikan dalam bentuk kartun. Jadi relatif lebih enak dibaca.
Balik lagi ke Kanisius. Selain ngobrol di ruang rapat, kami juga main ke kantor Basis. Aku tertarik karena Basis adaah salah satu majalah yang keren untuk dibaca dengan gagasan-gagasan alternatifnya untuk isu sosial budaya.
Kami ngobrol dengan Budi Sardjoko, redakturnya. Melihat Mas Budi ini aku jadi inget Bre Redana, wartawan Kompas yang pernah ngajari aku soal menuis feature. Bre pula yang membuatku tertarik baca-baca tulisan maupun buku soal kajian budaya (cultural studies).
Belajar dari Kanisius, aku melihat sendiri bagaimana lembaga Katolik memang luar biasa dalam usaha kemanusiaannya. Pendidikan adalah lapangan utama kegiatan mereka. Maka tidak heran jika lembaga sekolah Katolik selalu jadi favorit di mana pun.
Zaman aku masih di SMU Muhammadiyah 9 Lamongan, nama SMA Petra Surabaya adalah nama “mengerikan” di tiap lomba Matematika tingkat provinsi. Di Denpasar, perguruan Santo Yoseph adalah sekolah swasta –atau bahkan lebih dibanding negeri- yang terpandang.
Belajar dari Kanisius, aku melihat bahwa agama memang bisa jadi alat untuk perubahan sosial. Sayangnya, di Indonesia, agama malah lebih sering terlihat jadi sumber keributan. Hmm..
July 6, 2008
Begitulah harusnya agama, menjadi agen perubahan dan panutan bagi pengikutnya.
Kadang manusia terlalu menganggap dirinya paling beragama, dan menganggap orang lain kafir, dan menggunakan penyadaran dengan cara kekerasan, bukan dengan intelegensia.
Kapan yah Indonesia bisa???
July 6, 2008
Santo Yoseph terpandang?
July 7, 2008
@ dek didi: yoi. sayangnya itu tadi. agama seringkali malah jd masalah. yg dilihat agamanya, bukan kelakuannya. bahkan utk berbuat baik pun kadang harus lihat apakah seagama atau tidak. aneh..
@ wira: itu sih yg aku tau. salah ya? 🙁
July 7, 2008
Adanya department agama membuktikan bagsa kita masih sering ribut masalah agama. Ato malah kebalik ya. Gara2 department agama, kita malah sering ribut masalah agama.
Waduh, la wong ortuku aja kerja jadi PNS di Departement Agama, hehehe…
July 8, 2008
@ mohammad: departemen agama terbukti gagal. bukannya menengahi masalah agama, dia malah seringkali jd lembaga penghakim. parahnya mereka malah jd pusat korupsi. parah!
March 10, 2009
bagaimankah jika pertanian dirubah dengan berbasis ekonomi kerakyatan