Tak banyak harapan bagi demokratisasi penyiaran.
Apalagi menjelang pemilihan umum legislatif 2014 nanti. Sebagian besar media penyiaran, terutama televisi, sudah dikapling masing-masing pemiliknya sebagai alat kampanye mereka.
Maka, menulislah untuk berbagi. Agar ceritamu abadi.
Berikut adalah pengumpulan informasi tentang kecelakaan pesawat Lion Air Sabtu lalu melalui aplikasi media sosial Storify.
Pengumpulan informasi ini hanya untuk menunjukkan bagaimana peran warga sekarang dalam memberitakan sebuah peristiwa. Tak ada lagi monopoli media arus utama. Bahkan, dalam kasus tertentu, pewarta warga justru menjadi penyampai pertama.
Awalnya dari rasa jengah: ke mana perginya jurnalisme berkualitas di Bali saat ini?
Pernyataan di balik pertanyaan tersebut mungkin terlalu dini. Tapi, setidaknya ada beberapa penanda makin hilangnya jurnalisme berkualitas di Bali. Tiga hal yang menandai tersebut adalah tema berita, penyampaian berita, dan etika jurnalis.
Dari sisi tema berita, sebagian besar media di Bali lebih banyak memberikan seputar intrik dan konflik elite politik. Penyampaian berita kemudian lebih banyak hanya bersifat talking news, semata tentang omongan-omongan elite. Dalam bahasa sarkastik, ada yang menyebutnya sebagai jurnalisme ludah, apa pun omongan elite politik akan diberitakan. Tidak perlu verifikasi. Tak ada keberimbangan. Bahkan, berita seringkali malah hanya menjadi alat adu domba.
Ada yang lebih menarik daripada keberhasilan Huffington Post menang Pulitzer.
Huffington Post, koran online atau dalam jaringan (daring), itu mendapat hadiah jurnalisme prestisius tersebut di kategori berita nasional. David Wood, penulis senior Huffington yang puluhan tahun meliput perang, menulis hingga 10 seri tentang para prajurit yang cacat usai berperang di Irak dan Afghanistan.
Mana yang lebih penting, aktualitas atau faktualitas?
Salah satu peserta Pelatihan Jurnalistik untuk Humas Balai Karantina se-Indonesia bertanya kepada Nyoman Darma Putra. Aku lupa dari mana pesertanya. Aku cuma ingat pertanyaan menarik tersebut ketika menjadi salah satu pemateri pelatihan tersebut bersama Pak Darma, panggilan akrabku ke dosen Fakultas Satra Universitas Udayana yang juga wartawan kantor berita ABC di Bali ini.
“Gempa” susulan pun terjadi di linimasa.
Begitu gempa 8,5 Richter mengguncang kawasan barat Sumatera, termasuk Daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara dua hari lalu, informasi di Twitter pun berseliweran. Seperti biasa, gempa di linimasa ini membuat warga lebih panik dibanding gempa sesungguhnya.
Aku sendiri pernah merasakannya ketika ada gempa di Bali selatan Oktober 2011 lalu. Pas aku lagi di Flores, Bali kena gempa. Lalu di Twitter pun informasi berseliweran. Karena hanya baca di Twitter, ketakutanku kok amat terasa. Padahal ya tak segawat yang ada di linimasa.