Sebenarnya, materi tentang pelatihan pers mahasiswa (persma) ini sudah pernah aku tulis. Tapi, mumpung ada cantolan terbaru, maka aku tulis lagi. Ada pembaruan berdasarkan hasil diskusi hari ini dengan teman-teman pegiat persma di Denpasar, Bali.
Jadi, hari ini kami berdiskusi dengan sekitar 30 anggota persma Universitas Udayana (Unud) Bali. Niat diskusi muncul karena kami, aku dan Lode, merasa makin hari sebagian persma di Bali makin tak tahu bagaimana mengelola pelatihan jurnalistik dengan baik.
Sampai saat ini kami masih sering diminta jadi pemateri pelatihan-pelatihan jurnalistik oleh persma selain juga ke komunitas. Namun, menurut kami, sebagian pelatihan jurnalistik persma ini tak dikelola dengan baik. Tak ada konsep atau acuan kegiatan, tak bisa bedakan metode apa yang dipilih, dan seterusnya.
Maka, kami berinisiatif untuk diskusi dengan teman-teman pegiat persma ini. Akademika, persma tempat kami dulu belajar, kami menerima ajakan tersebut. Mereka yang mengundang dan jadi tuan rumah.
Diskusi selama sekitar 3 jam tersebut kami adakan di Rumah Jabatan Rektor Unud di Jl Goris Denpasar, sebelah utara kampus. Pesertanya dari beberapa persma di Unud, seperti Maestro (Teknik), Akademika (Unud), Suara Satwa (Kedokteran Hewan), Psyco (Kedokteran), Kanaka (Sastra), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Unud.
Berdasarkan hasil diskusi, kurang lebih inilah lima hal yang sebaiknya menjadi acuan ketika mengadakan pelatihan jurnalistik untuk persma.
1. Materi dan Metode
Materi pelatihan jurnalistik yang baik terdiri dari dua hal, yaitu wawasan dan keterampilan. Materi wawasan biasanya bersifat teoritik. Adapun keterampilan harus diimbangi praktik.
Idealnya sih 50 persen teori, 50 persen praktik. Dengan demikian, peserta bisa langsung mempraktikkan teori yang mereka pelajari dari pemateri.
Materi teori ini, misalnya, dasar-dasar jurnalisme, perkembangan jurnalisme saat ini, atau tentang persma dan gerakan mahasiswa, dan seterusnya. Adapun materi keterampilan, antara lain tentang teknik wawancara, menulis berita langsung, menulis berita kisah, dan seterusnya.
2. Pemateri
Agar pelatihan lebih tepat guna, maka pemateri pelatihan jurnalistik sebaiknya orang yang memang menguasai tema tersebut. Misalnya, ketika ngomong tentang teori jurnalistik, maka Dosen Ilmu Komunikasi atau wartawan setingkat redaktur atau pemred tentu lebih tepat daripada wartawan baru. Begitu pula materi tentang fotografi tentu lebih tepat kalau pemateri adalah fotografer jurnalistik, bukan fotografer model.
Tak hanya menguasai, pemateri ini sebaiknya juga cakap menyampaikan materinya. Syukur-syukur malah kalau dia bisa memadukan antara serius dan santai. Untuk ini, akan lebih bagus kalau panitia sudah mengenal pemateri. Jika belum cukup tahu bisa tanya ke alumni persma itu, wartawan yang dikenal, organisasi profesi, atau… Mbah Google!
3. Tempat dan Selingan
Suasana sangat memengaruhi asyik tidaknya pelatihan jurnalistik. Nah, salah satu yang amat memengaruhi suasana ini ternyata tempat pelatihan. Tak harus selalu di kelas. Ada teman-teman persma yang mengadakan pelatihan ini di tempat terbuka, seperti pantai, lapangan, dan semacamnya. Tak harus di kota tapi juga bisa sekalian seperti outbond.
Selain tempat yang berbeda, perlu juga dibuat agar suasana pelatihan-pelatihan terasa lebih santai. Salah satu caranya dengan membuat permainan-permainan (ice breaking) selama pelatihan. Biasanya sih permainan ini di sela-sela materi. Misalnya pada saat istirahat pagi atau usai makan siang.
4. Panitia dan Peserta
Bagi sebagian peserta, lagak gaya panitia juga penting. Bawaannya males kalau lihat panitia yang menjaga jarak dengan peserta. Maka, untuk panitia, jangan hanya karena merasa senior lalu belagu setengah mati. Untuk itu, panitia perlu lebih down to earth. Bergaullah dengan peserta. Jalin keakraban biar tidak ada jarak antara panitia dengan peserta.
Panitia sebaiknya membaur saja selama pelatihan. Ikuti materi-materi pelatihan sekalian hitung-hitung menyegarkan kembali pengetahuan dan pengalaman jurnalisme kita. Dengan cara ini, panitia sekalian bisa mengenal lebih jauh sebagian peserta tersebut. Sepertinya asyik juga kalau ada pendampingan dalam penugasan.
5. Apresiasi dan Kompetisi
Terakhir, berikan apresiasi kepada peserta. Kalau memang bagus ya bilang bagus. Kalau tidak ya tidak. Selama ini ada anggapan bahwa panitia hanya mencari-cari kesalahan peserta. Hal ini terjadi karena memang panitia kurang bisa mengapresiasi apa yang sudah dikerjakan oleh peserta. Anggapan ini harus diubah. Panitia harus berbenah.
Salah satu cara untuk memberikan apresiasi tersebut adalah lewat kompetisi. Sebaiknya ada persaingan, dalam arti positif, di antara peserta. Ini sih biasanya selalu ada. Tiap pelatihan selalu ada peserta terbaik, kelompok terbaik, dan seterusnya. Kompetisi akan bisa memacu prestasi. Tsaaah! Hehehe..
Demikianlah. Kurang lebih kesimpulan dari diskusi dengan teman-teman pegiat persma di Denpasar. Jika butuh materi diskusi tersebut, silakan unduh materi diskusi tentang pelatihan persma tersebut dalam versi ppt.
December 20, 2012
Halow redaksi, mau tanya:
1) apakah pelatihan ini dilakukan rutin dalam periode tertentu?
2) mintah informasi selengtkapnya, yang bisa melibatkan rekan2 di luar komunitas di Bali.
Terima kasih
Bobi Willem
Humas LPMAK Timika Papua