Duit yang tersisa hanya sekitar Rp 8.000.
Ditemani anaknya yang berumur sekitar empat tahun, Luviana memerlihatkan saldo rekeningnya di ATM. “Ya cuma segini ini saldo yang tersisa,” kata mantan jurnalis Metro TV ini.
Adegan itu, terselip di antara rangkaian adegan dalam film Di Balik Frekuensi yang diproduksi Gambar Bergerak dengan sutradara Ucu Agustin. Menurutku, adegan ini amat personal dan menyentuh dari film dokumenter selama sekitar 2,5 jam ini.
Kami menonton film tersebut tiga hari lalu di Nabeshima Art Space, Penatih, Denpasar. Selain pemutaran film juga ada diskusi dengan pemeran utama, Luviana, dan sutradara Ucu Agustin. Sayangnya, karena sudah terlalu malam, sekitar pukul 22.30 Wita, kami tak bisa ikut diskusi. Malah nonton film pun tak sampai selesai.
Tapi, meskipun tak menonton film sampai selesai, setidaknya sudah banyak fakta yang kami dapat dari film itu.
Sebagai sesama jurnalis, sebagai sesama orangtua, aku bisa merasakan bagaimana hidup hanya dengan Rp 8.000 saldo tersebut. Maka, Luviana yang juga teman di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tersebut, harus meminjam kepada keluarga untuk menghidupi keluarga bersama suaminya.
Luviana adalah wartawan Metro TV, stasiun berita pertama di Indonesia. Karena menuntut perbaikan kesejahteraan bersama teman-temannya, dia kemudian dipindahkan dari bagian redaksi ke bagian sumber daya manusia (SDM) di stasiun televisi milik Surya Paloh, pemilik Media Group, termasuk Media Indonesia dan Lampung Post, tersebut.
Mantan jurnalis Radio 68H dan Jurnal Perempuan menolak dipindahkan. Maka, dia terus menuntut haknya agar tetap bekerja di bagian redaksi. Namun, bukannya dikabulkan permintaannya, Luviana malah dipecat. Dia tak lagi mendapatkan gaji.
Luviana tidak berhenti. Dia tetap menuntut agar dipekerjakan kembali. “Karena saya yakin saya tidak berbuat salah,” tegasnya.
Film Di Balik Frekuensi menuturkan bagaimana perjalanan Luviana menuntut haknya ini. Tak hanya di kantor Metro TV tapi juga lembaga-lembaga lain, seperti Komnas HAM, DPR, Komnas Perempuan, hingga kantor Partai Nasional Demokrat yang didirikan Surya Paloh.
Tapi, film ini tak hanya tentang Luviana. Film juga tentang bagaimana konglomerasi industri penyiaran terutama televisi di Indonesia saat ini.
Selain melalui Luviana, konglomerasi itu juga disampaikan lewat Hari Suwandi, korban lumpur Lapindo Brantas milik Aburizal Bakrie, yang menuntut haknya sebagai korban lumpur panas yang menenggelamkan ratusan desa di Sidoarjo, Jawa Timur tersebut.
Secara sederhana, konglomerasi adalah kepemilikan yang berpusat pada satu dua orang. Inilah yang terjadi saat ini pada industri media di Indonesia, termasuk televisi. Dengan memiliki media ini, maka para pemilik berusaha mengontrol materi apa saja yang boleh ditayangkan, mana yang tidak.
Dalam kasus Luviana, misalnya, Metro TV tak cuma menolak semua tuntutan Luviana, tapi juga tidak menayangkan sama sekali berita tentang aksi-aksi Luviana. Sebaliknya, dengan sangat gencar mereka memberitakan tentang Hari Suwandi yang berjalan dari Sidoarjo ke Jakarta untuk menuntut hak para korban lumpur Lapindo.
Metro TV dengan gencar melaporkan sedemikian rupa tentang para korban lumpur Lapindo ketika mereka sendiri lupa bahwa ada korban ketidakadilan oleh mereka sendiri, Luviana.
Di sisi lain, TV One, milik Bakrie pun segendang sepenarian dengan Metro TV. Mereka memuat berita tentang Luviana tapi lupa memberitakan tentang korban lumpur Lapindo. Mereka justru menayangkan Hari Suwandi ketika orang ini membelot dan malah meminta maaf kepada Bakrie.
Cara Metro TV dan TV One memberitakan tentang Luviana dan Hari Suwandi di media adalah cermin bagaimana konglomerasi mengakibatkan pemilik media mengendalikan apa yang ingin mereka sampaikan kepada publik. Akibatnya, frekuensi milik publik itu pun dikendalikan demi kepentingan pemilik stasiun televisi, bukan publik.
Parahnya lagi, nafsu para pemilik tersebut dibarengi pula dengan rendahnya gaji yang diberikan mereka pada jurnalisnya. Riset AJI Indonesia menunjukkan masih rendahnya upah bagi jurnalis di Indonesia. Jurnalis televisi harus siap bekerja di lapangan selama 24 jam dan kadang tanpa jaminan keselamatan apalagi asuransi kesehatan.
Film Di Balik Frekuensi ini menuturkan bahwa di bali gemerlap layar televisi itu, ada jurnalis-jurnalis seperti Luviana yang tersingkir karena menuntut haknya. Televisi yang galak terhadap ketidakadilan justru bungkam ketika melawan ketidakadilan oleh pemiliknya sendiri.
Leave a Reply