Akhirnya sampai juga di Mbay, Flores bagian utara.
Perjalanan dari Ende, di ujung selatan Flores, ke Mbay, ibukota Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Barat ini sekitar 3 jam. Rutenya sama dengan jalan di Flores pada umumnya, naik turun dan berkelok-kelok.
Meskipun sudah berkali-kali ke Flores, ini pertama kali aku ke Mbay. Sebagai kota baru, dulu bagian dari Kabupaten Ngada sebelum jadi kabupaten sendiri, Mbay tak jauh berbeda dengan Labuan Bajo, Manggarai Barat. Keramaian dan kemajuan keduanya masih kalah meskipun dibandingkan dengan ibukota kecamatan atau malah kelurahan di Jawa atau Bali.
Begitulah suasana yang menyambutku ketika aku sampai di sana Selasa petang kemarin. Tak banyak lalu lalang orang ataupun kendaraan. Ketika malam lebih sepi lagi.
Pagi ini, ketika aku ke Desa Maropokot, Kecamatan Aesesa, jalanan juga rusak parah. Kami seperti naik turun gelombang melewati jalan sepanjang aliran irigasi di desa ini.
Sekitar 30 menit melewati perjalanan “bergelombang” ini, kami sampai di tempat petani sedang melaksanakan praktik Sekolah Lapang (SL). Hamparan padi menghijau adalah tempat di mana SL dilakukan.
Mbay merupakan kawasan produksi beras di Flores selain Lembor, Manggarai Barat. Dengan kontur tanah yang datar dan padi menghampar, Mbay dan Lembor ini berbeda jauh dengan lansekap Flores pada umumnya yang berbukit-bukit. Air mengalir sepanjang tahun. Tak heran jika dua tempat ini jadi kawasan produksi padi.
Cuma sayangnya, masih banyak praktik pertanian dengan kimia. Kini, sebagian petani sedang belajar menerapkan pertanian organik. Salah satunya adalah Asosiasi Petani Organik Mbay (ATOM). Organisasi petani ini merupakan mitra Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) dan tempat aku kerja paruh waktu, VECO Indonesia.
Hari ini, sekitar 50 anggota kelompok tani berkumpul di balai pertemuan. Mereka tak hanya berdiskusi tapi juga berlatih membuat pupuk organik. Sebagian di antaranya juga melakukan pengamatan, salah satu bagian dari SL.
Materi SL ini antara lain dari pembuatan benih, pengolahan lahan, penanaman, pengendalian hama, dan seterusnya. Semuanya sudah biasa dilakukan petani setempat. Bedanya, sekarang dengan sistem organik. Tak mengandalkan asupan bahan kimia.
Kami ke sawah. Ada dua petak, luasnya sekitar 10 are, jadi tempat percobaan alias demo plot. Di sini petani melakukan pengataman didampingi petani sekaligus fasilitator dari Yayasan Pertanian Alternatif Nasional Sumatera Utara (Pansu).
Menariknya SL adalah karena petani bisa belajar langsung dari petani di lapangan. Petani-petani di Mbay bisa belajar dari petani dari Medan. Mereka melakukan pengamatan pada tanaman, hal yang mungkin selama ini tak dilakukan petani.
Pengamatan ini, misalnya berapa bulir pada setiap tangkai padi, berapa jumlah anakan pada setiap kelompok, dan seterusnya. Ada yang menghitung. Ada yang mencatat. Dari catatan hasil pengamatan tersebut, petani bisa memelajari sendiri apakah tanaman saat ini lebih baik dari sebelumnya atau tidak.
Aku percaya lapangan terbaik adalah lapangan. Maka, begitu pula petani di Mbay ini. Dengan langsung praktik di lapangan, mereka bisa melihat sendiri hasil dari perubahan yang mereka lakukan.
Lalu, mereka berdiskusi dan belajar di antara mereka sendiri. Mereka semua murid sekaligus guru bagi satu sama lain.
Leave a Reply