Di hidung tercium bau seperti kotoran atau sampah. Agak-agak kecut dan busuk. Namun, bau tak sedap itu sama sekali tak menghalangi semangat ibu-ibu di Desa Malanusa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada dua hari lalu.
Ketika aku tiba di sana, sekitar pukul 4 sore setelah 3 jam perjalanan dari Mbay, sekitar 15 ibu tersebut sedang membuat pupuk organik. Empat perempuan dan satu laki-laki sedang sibuk memeras bahan terbuat dari campuran antara bongkol pisang, moke (tuak), dan bahan-bahan lain.
Dengan warna coklat dan bau menyengat, bahan hasil fermentasi untuk membuat pupuk cair tersebut, bukan hal yang sedap dilihat dan dicium. Tapi ya mereka asyik saja memeras bahan tersebut lalu membuang ampasnya. Tak terlihat canggung.
Di tempat lain, masih di rumah yang sama, ibu-ibu menyiapkan bahan baru, daun-daunan, moke, dan lain-lainnya untuk pupuk baru. Setelah lengkap, bahan tersebut akan disimpan agar bisa terfermentasi dan nantinya siap diperas seperti bahan yang sudah jadi tersebut.
Begitulah kesibukan ibu-ibu di Kelompok Papalaka, Desa Malanusa. Mereka rajin membuat pupuk organik sendiri termasuk ketika aku ke sana. Mereka bekerja sama dalam kelompok untuk membuat pupuk organik, membersihkan lahan, juga arisan tiap bulan.
Desa Malanusa, seperti sebagian besar desa di Kabupaten Ngada, Flores, juga penghasil kopi. Di tiap kebun petani, kopi selalu ada selain tanaman umur panjang lain, seperti vanili, kakao, dan semacamnya. Karena banyak tanamannya, petani di sini jadi tak terlalu fokus pada satu komoditas.
“Kami tak pernah apa-apakan lagi pohon kopi yang ada. Kalau ada buah baru kami panen,” kata Carolina Ngao, Ketua Kelompok.
Kini, ibu-ibu anggota Kelompok Papalaka tersebut ingin lebih serius membudidayakan kopi di lahan mereka. Salah satunya dengan memberikan pupuk organik itu tadi. Mereka tak mau tergantung pada perusahaan pupuk kimia, maka mereka pun membuat pupuk organik sendiri.
Pengetahuan tentang cara membuat pupuk organik dan budi daya kopi yang lebih baik tersebut mereka peroleh dari Sekolah Lapang (SL) yang difasilitasi Lembaga Advokasi dan Penguatan Masyarakat Sipil (Lapmas) Ngada. Sejak Juni lalu, mereka mulai belajar dengan langsung mempraktikkan seperti sore itu.
“Kami mungkin agak terlambat untuk belajar. Tapi, meskipun tua, kami tetap semangat,” ujar Carolina disambut tawa teman-temannya ketika kami ngobrol sore itu.
Pembuatan pupuk organik sendiri hanya salah kegiatan kelompok ini. seperti nama Papalaka yang berarti saling membantu, maka begitu pula para mama ini. Mereka saling membantu sesama anggota. Tak hanya bertani organik tapi juga simpan pinjam, jumptan beras, arisan, dan lain-lain. Semua dilakukan secara bersama-sama.
“Kami tak mau bekerja sendiri-sendiri. Kami mau bersama-sama. Susah senang ditanggung bersama,” kata Wilhelmina Dhay, salah satu anggota.
Dengan bantuan pemerintah, mereka juga berternak sapi yang jumlahnya terus bertambah. Dari semula cuma 21 ekor, kini sudah jadi 80 ekor. Semua dilakukan oleh anggota kelompok yang hampir semuanya perempuan. Dari 22 anggota, cuma satu laki-laki.
Mama-mama di Ngada ini mengajari tentang kekuatan bersama perempuan. Salut, Mama..
Leave a Reply