Perjalanan ke Junin, pedalaman Peru kali ini benar-benar tak mudah.
Kami naik bus malam selama sekitar 10 jam dari Lima. Bus tingkat dengan sekitar 30 penumpang itu memang enak banget. Kursinya bisa diubah jadi serupa kasur.
Namun, jalan menuju Junin agak jauh dari kata nyaman. Dari Lima menuju Junin, harus melewati pegunungan setinggi sekitar 5.000 meter. Jalannya mendaki naik turun berkelok-kelok esktrem.
Karena perjalanan pada malam hari, saya tidak terlalu merasakannya. Cuma sempat mengalami susah bernapas sekitar pukul 1-3 pagi. Rupanya saat itu kami melewati titik tertinggi sehingga kekurangan oksigen.
Dalam perjalanan balik lima hari kemudian, saya baru tahu betapa ngeri tapi menakjubkannya puncak yang kami lewati. Jalan yang kami lewati ternyata benar-benar di lereng gunung dengan jurang di kanan kirinya.
Ini jalan paling ngeri yang pernah saya lewati.
Setelah ngerinya jalan, kami harus menghadapi kenyataan lain yang juga tak mudah, susahnya akses ke lokasi liputan. Salah satu lokasi kunjungan kami ada di pedalaman Pangoa, Provinsi Junin. Dari Kota Pangoa, perlu waktu 2,5 jam dengan kendaraan 4×4.
Jalannya memang rusak seperti umumnya di pedalaman Indonesia. Tapi ini lebih parah karena bentuk jalannya masih serupa rintisan. Berlumpur. Licin. Naik. Naik. Naik. Berkelok tanpa henti.
Pada satu titik, perjalanan kami berhenti. Mobil terperangkap di lumpur. Di kiri kami jurang dengan hutan lebat. Di kanan tebing. Sisanya sunyi dengan sesekali suara guntur.
Setelah sekitar 20 menit terjebak di jalan berlumpur plus berdebat lanjut atau tidak, kami memutuskan kembali saja. Eh, benar. Lima belas menit kemudian hujan pun turun dengan derasnya. Jika tadi kami tak balik, yakin deh akan terulang kisah pilu di San Martin, jalan kaki 2,5 jam di antara derasnya hujan dan hari yang sudah gelap.
Pesan moral dari perjalanan ke pedalaman Peru, amat susah menuju lokasi!
Namun, di lokasi-lokasi terpencil tersebut kami bertemu dengan petani lokal yang menghasilkan produk terbaik untuk negaranya. Di San Martin, petani menghasilkan kopi dan kakao yang diekspor ke Amerika Serikat, Eropa, dan Kanada. Begitu pula petani di Junin, salah satu provinsi produsen kopi paling banyak di Peru.
Dari lokasi-lokasi terpencil dan susah dijangkau, petani menghasilkan produk berkualitas internasional dari negara mereka. Produk mereka dikonsumsi orang-orang kota dengan harga mahal yang sering kali tak terjangkau kantong produsennya sendiri.
Sementara itu, akses ke desa tetap dibiarkan merana. Hancur lebur. Bahkan kadang tanpa rupa saking tidak jelasnya.
Begitulah ironi desa kota di negara berkembang. Tak hanya di Peru tapi juga di Indonesia.
Leave a Reply