Penuh Siaga dari Paris ke Belgia

0 , , Permalink 0

Brussels Central Station

Belasan polisi bersenjata lengkap menyambut di jalur antar-negara.

Aku dagdigdug berjalan ke arah mereka. Wajah Asia sepertiku, meskipun mungkin bukan kategori yang harus diwaspadai, tetap saja adalah wajah-wajah asing bagi polisi-polisi di Paris.

Benar saja. Jika sebagian penumpang lain bisa dengan lenggang kangkung langsung masuk kereta jurusan Paris (Perancis) – Brussels (Belgia), maka tidak begitu denganku. Dua polisi menahanku.

Dengan tetap menyandang senjata lengkap, salah satu dari mereka membuka tas punggungku. Aku dengan suka rela ikut mengeluarkan isinya: pakaian, laptop, dan kamera. Tidak ada yang aneh.

Tapi, yang membuat mereka lebih serius memeriksa adalah tabung gambar yang aku bawa. Dengan bentuk lonjong, sekilas memang serupa tempat senjata.

Mereka memintaku mengeluarkan semua isi tabung gambar itu. Padahal isinya cuma poster. Mereka sepertinya belum puas. Masih menanyakan identitas, tujuan, dan seterusnya.

Aku lihat waktu makin mepet. Kereta ke Brussels segera berangkat. Tapi, para polisi itu seperti masih mencari-cari entah apa di tasku plus apa tujuanku ke Belgia.

Ketika kereta sudah mau ditutup pintunya, barulah mereka membiarkanku pergi. Dengan buru-buru sehingga barang bawaan agak berantakan di dalam tas, aku segera masuk kereta. Hingga kereta kemudian berjalan sementara aku harus mencari-cari kursiku saat dia dengan cepat meninggalkan Gare de Nord, stasiun di Paris bagian utara.

Ketatnya pemeriksaan di stasiun kereta antar-negara ternyata jauh lebih terasa dibandingkan ketika aku baru tiba di Bandara Charles de Gaulle. Antrenya memang lama, sekitar 1 jam. Namun, pemeriksaan di imigrasi pagi tadi tak sampai lima menit.

Begitu lihat pasporku, petugas imigrasi langsung jebret jebret mengecapnya memberikan izin masuk. Beda sekali dengan perlakuan terhadap dua orang lain berwajah Asia di loket sebelahku yang sudah sekitar setengah jam ditanya dan belum selesai juga prosesnya.

Tapi, aku memaklumi segala keriwehan pemeriksaan di stasiun antar-negara tersebut. Paris memang tengah siaga setelah serangan pada November 2015 lalu. Sebagian besar pelaku teror di lima tempat yang menewaskan 130 orang itu berasal dari Belgia.

Jadi, sekali lagi jika kemudian pemeriksaan di kereta itu lebih ketat ya wajar saja. Apalagi untuk jurusan Paris – Brussels, yang menjadi salah satu jalur para teroris.

Kebetulan pula kereta yang aku tumpangi kali ini adalah Thalys, tempat di mana pernah terjadi penyerangan sebelumnya pada Agustus 2015. Ketika itu, seorang teroris akan menyerang penumpang kereta dari Amsterdam ke Paris. Upaya itu digagalkan para penumpang.

Karena dua kejadian itu, maka tumben kali ini pemeriksaan pun dilakukan di dalam kereta. Setelah sekitar satu jam perjalanan, dua polisi memeriksa tiket semua penumpang. Mereka meminta identitas juga, termasuk paspor.

Selebihnya, perjalanan menuju Belgia lancar jaya. Menyusuri pedesaan Paris, melintas perbatasan, lalu terhenti di Brussels Central Stasiun. Kali ini, aku hanya singgah di stasiun kemudian melanjutkan sekitar 30 menit perjalanan lagi dengan kereta ke kota yang lebih kecil, Leuven.

Sore di Leuven pada awal Desember itu terasa lebih hangat. Matahari cerah. Tak ada pula ketegangan polisi-polisi bersenjata lengkap layaknya di Paris dan Brussels.

Leuven, kota kecil di sebelah timur Brussels ini cocok sekali untuk mengobati jauh, lama, capek, dan tegangnya perjalanan dari Bali lewat Qatar, Paris, dan Brussels.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *