Para Nelayan Kecil dengan Ide Besar

0 , , Permalink 0

Laut bening membiru. Ikan laut segar tersedia selalu.

Apa lagi coba yang kurang untuk menggambarkan betapa menyenangkan tiga hari liputan di Pulau Buru?

Lokasi liputan kali ini di kawasan pesisir salah satu pulau di Provinsi Ambon tersebut. Temanya tentang bagaimana nelayan-nelayan kecil di pulau tempat lahirnya Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer ini menerapkan prinsip perdagangan berkeadilan saat menangkap ikan.

Narasumber utama liputan adalah nelayan-nelayan kecil di dua kecamatan yaitu Airbuaya dan Waplau. Dua kecamatan di sisi utara ini memiliki pantai-pantai keren. Airnya biru jernih. Ombaknya tenang. Pantainya landai.

Aduh. Surga deh pokoknya.

Bonus lain adalah makanannya. Selama tiga hari di sana, nyaris tiap hari kami makan ikan laut segar. Lebih banyak sih ikan tuna. Salah satu bagian ternikmat adalah perutnya. Orang sana biasa menyebutnya belly. Entah kenapa kok lebih familiar dengan bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia.

Ikan tuna ini pada umumnya dibakar. Rasanya jarang sekali yang digoreng. Mungkin karena memang di daerah itu susah dapat minyak goreng. Lagian juga kalau digoreng tentu kurang sehat.

Selain tuna, sesekali juga ada tongkol. Cara masaknya sama, dibakar juga. Ikan-ikan ini tersedia untuk segala waktu: sarapan, makan siang, dan makan malam. Puas..

Selain dibakar, cara memasak lain adalah kuah asam. Biasanya ikan jenis kakap merah yang dimasak dengan kuah asam ini. Kami menikmatinya di salah satu rumah warga setelah wawancara dengan tuan rumah.

Enaknya berlipat ganda. Ikan segar dan kuah nikmat tanpa bayar. Hehehe…

Namun, tentu saja, hal paling berharga di sana adalah cerita-cerita menarik dari para nelayan kecil.

Pada umumnya, nelayan di Pulau Buru adalah nelayan kecil. Mereka melaut selama sekitar 10 jam dengan perahu 1-2 gross ton bermesin tempel 40 PK.

Tuna merupakan tangkapan mereka. Harga satu ekor bisa sampai sekitar Rp 800 per ekor tetapi masih dipotong biaya bensin, plastik, rokok, dan lain-lain. Ya, rata-rata Rp 400 ribulah bersihnya.

Untuk mengumpulkan cerita itu, kami mengunjungi tiga desa. Jarak masing-masing sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Enaknya karena jalan raya di pulau ini sudah mulus dan datar. Sesuatu yang tak aku duga sama sekali sebelumnya.

Selama liputan di Pulau Buru, kami tinggal di kantor Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI). Ini rumah warga biasa yang disewa sebagai kantor organisasi non-pemerintah di bidang perikanan itu.

Kami sempat juga menginap di salah satu hotel keren di Pulau Buru. Namanya Hotel Lestari Buru Permai. Lokasinya persis di pinggir pantai berpasir hitam nan landai. Sepi. Asri. Ini juga kejutan lain. Ternyata ada juga hotel bagus begitu di Pulau Buru dan relatif jauh dari pusat kota.

Bertemu nelayan-nelayan kecil, mengumpulkan cerita tentang perikanan dengan prinsip perdagangan berkeadilan ini jelas menambah wawasan dan pandangan. Sebab isu fair trade fishery memang termasuk baru. Tak hanya di Indonesia tapi juga di dunia.

Secara garis besar, fair trade fishery ini adalah praktik perikanan dengan prinsip fair trade. Misalnya bahwa mereka harus menghormati hak asasi manusia, tak boleh ada diskriminasi, harus memerhatikan lingkungan, dan lain-lain. Detailnya panjang dan banyak.

Kami bertemu nelayan-nelayan kecil yang amat antusias bercerita tentang program ini. Dari hal paling sederhana, misalnya tak lagi membuang sampah plastik sembarangan ke pantai sampai hal besar seperti lebih menghargai istri di rumah.

Sejauh yang aku temukan, para nelayan sangat senang dengan program ini. Mereka mendapatkan banyak manfaat.

Catatan terbesarku soal tantangan di program fair trade fishery di Pulau Buru ini adalah soal ketergantungan nelayan pada tengkulak. Meskipun sudah bekerja dalam kelompok, para nelayan masih sangat bergantung pada tengkulak dalam mendapatkan bahan-bahan bekerja, misalnya bahan bakar minyak dan plastik untuk bungkus ikan.

Begitu pula dalam menjual ikan. Mereka harus menjualnya melalui tengkulak, tidak langsung ke eksportir.

Ketergantungan ini susah dihilangkan. Pertama karena para tengkulak itu sendiri memang bagian dari kelompok atau bahkan keluarga sendiri. Kedua karena para nelayan memang berutang budi pada mereka.

Pelajarannya: praktik perdagangan berkeadilan ternyata harus melihat konteks lokal juga. Tidak bisa saklek sesuai aturan sebenarnya.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *