Tahun ini, KPK kembali mengadakan pelatihan jurnalisme warga.
Lokasinya di Desa Nyuh Kuning, Ubud. Persisnya di rumah pentolan dan gitaris Navicula yang juga aktivis, Gede Roby.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan pelatihan jurnalisme warga di Bali untuk pertama kali pada tahun lalu. Saat itu kegiatannya di Denpasar.
Pelatihannya tiga hari, Jumat sore sampai Minggu sore. Pada Jumat dan Sabtu, agendanya sampai hampir tengah malam. Lumayan melelahkan buat mataku yang biasa tidur pukul 8 malam.
Dari sisi kurikulum dan proses pelatihan, tahun ini nyaris sama dengan tahun lalu. Begitu pula dengan pesertanya, sebagian besar mahasiswa dan pelajar.
Bedanya, tahun ini tidak ada materi soal radio sebagaimana tahun lalu. Materi tentang teks dan video masih ada. Selain itu, kali ini juga tidak ada fasilitator utama seperti tahun lalu, Dandhy Dwi Laksono. Gantinya tinggal berempat: dua fasilitator di teks, dua di video.
Seperti tahun lalu, aku kebagian memfasilitasi di bagian teks bersama Mas Rofiqi Hasan, koresponden TEMPO. Fasilitator videonya Dwitra J Ariana alias Dadap dan Oka Sudarsana.
Pelatihan jurnalisme warga KPK tahun ini merupakan bagian dari Festival Anti Korupsi KPK yang akan diadakan Desember nanti. Temanya pun sama dengan tema besar, Puputan Melawan Korupsi.
Tema yang buesar dan abstrak. Tetapi, ya, sudahlah. Mari ikuti saja.
Sesuai tema itu, materi wawasan pun membahas tentang sejarah dan filosofi puputan. Ada Pak Nyoman Darma Putra, penulis buku tentang Puputan Badung 1906, dan Pak Wayan Windia, ahli hukum adat yang juga warga Nyuh Kuning.
Sebelum mereka berdua, ada dua pembicara tentang bagaimana praktik korupsi dan kolusi dalam pariwisata Bali. Bli Agung Alit dari Mitra Bali dan Sukma Arida, doktor di bidang pariwisata, menjelaskannya dengan bahasa-bahasa lugas.
Menurutku, materi paling menarik adalah penjelasan Sukma Arida yang juga dosen Fakultas Pariwisata Universitas Udayana. Dia menjelaskan bagaimana praktik-praktik korupsi terjadi dalam pariwisata Bali.
Tidak hanya menjelaskan beberapa kasus korupsi yang melibatkan pelaku dan pejabat pariwisata, Sukma juga memberikan contoh-contoh praktik korupsi itu.
Praktik korupsi dalam pariwisata itu, misalnya, uang tip untuk sopir-sopir agen perjalanan dari kios seni (art shop) atau pusat oleh-oleh. Besarnya nilai uang tip itu sampai 40an persen dari harga.
Masalahnya, uang tip itu dibebankan kepada pembeli sehingga mereka harus membeli dengan harga lebih tinggi. Menurut Sukma, ini praktik korupsi yang cenderung merugikan konsumen.
Topik menarik ini, sayangnya, kurang dielaborasi peserta pelatihan dalam artikel ataupun video mereka.
Dalam praktik membuat karya, peserta dibagi jadi tiga topik yaitu tentang Mitra Bali, Yayasan Bumi Sehat, dan Desa Nyuh Kuning. Peserta mencari topik yang relevan dengan gerakan antikorupsi.
Pada hari kedua, sekitar 20 peserta meliput ke tiga lokasi itu. Sore hari setelah liputan, mereka memproduksi artikel dan video masing-masing. Proses produksi dan pendampingannya sampai tengah malam.
Hasilnya kemudian diulas pada hari ketiga.
Secara umum, menurutku, kualitas karya peserta di bagian teks tahun lalu lebih bagus dibanding yang sekarang. Tentu saja subjektif. Selain karena kualitas tulisan, bisa jadi karena lokasi liputannya.
Salah satu yang sangat membekas tahun lalu itu soal Pak Jokowi ala Desa Pejeng di Gianyar. Profil Kepala Desa Pejeng yang memang berintegritas, pas banget dengan tema antikorupsi.
Hal yang lebih baik tahun ini adalah lokasinya. Tidak ku sangka, ternyata rumah untuk pelatihan ini asyik. Peserta lesehan sepanjang diskusi. Suasana jadi lebih santai meskipun agak bersesakan.
Tahun depan jika ada, sepertinya asyik cari tempat serupa yang lebih luas. Jika tak ada, tak apa di sana lagi.
Leave a Reply