Sepanjang pertunjukan itu, jantungku berdebar lebih keras.
Apalagi ketika musisi kontemporer Kadapat memainkan musiknya. Meskipun menikmati sekali alunan musik mereka, aku duduk dengan gelisah. Jangan-jangan mendadak ada yang datang membubarkan pesta malam itu.
Sebenarnya, secara audio visual penampilan Kadapat, dua elektronik itu amat menarik. Dua anak muda kalem ini menggabungkan musik tradisional Bali, yaitu gender dan jegog, dengan musik elektronik.
Tempo musik mereka kadang mengalun pelan dengan irama ritmis dari gender dan jegog. Suasana terasa sedang upacara, entah di rumah atau di pura. Namun, pada tingkat tertentu, irama syahdu itu bertemu lalu berpadu dengan rancak irama malam pesta.
Ada suasana mistis upacara sekaligus euforia pesta dalam paduan musik-musik mereka.
Lalu, ini yang menambah suasana mistis dan euforia tersebut, permainan videomapping Rontas dan tarian Jacko. Videomapping Rontas berpendar-pendar. Cahayanya bergerak meloncat-loncat dari satu dahan ke dahan lain. Dari satu pohon ke pohon lain. Membuat musik Kadapat jadi terasa begitu hidup dan berenergi.
Sementara itu, Jacko sedang menari di bale bengong dalam kurungan semacam kain kasa. Dalam kurungan itu, penari dan pemain teater ini, meliuk-liukkan badan. Kain kasa yang mengelilinginya menjadi ruang bagi permainan videomapping Rontas dengan gambar-gambar simetris.
Berpendar. Berpijar. Bergerak terus tanpa henti.
Halaman belakang kantor BaleBengong pun berubah menjadi layaknya tempat pesta eksklusif. Penikmat pestanya duduk di beranda belakang. Menghadap ke arah sungai dengan panggung kecil di tepinya, di mana Kadapat memainkan musiknya.
Toh, keintiman dan keriuhan pesta itu yang membuatku tidak terlalu tenang. Musik dari Kadapat yang terdengar menggelegar di tengah gelapnya malam, di antara rumah-rumah tetangga membuatku kepikiran. Jangan-jangan mendadak ada tetangga atau aparat yang datang dan membubarkan.
Maklum, kami menggelar Malam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2021 itu di tengah pandemi COVID-19 yang belum sepenuhnya terkendali. Meski sudah ada harapan dengan vaksin, tetapi kasus di Bali masih naik turun seperti juga daerah lain di Indonesia.
Karena itu aku khawatir saja ada yang tiba-tiba protes ke kami, selain juga karena musik menggelegar dari Kadapat itu tadi. “Pesta apa ini!!?? Kenapa kalian bikin acara beginian di sini?!! Tidak tahu ini masih suasana pandemi!!?” Aku bayangkan ada yang tiba-tiba datang dan memprotes demikian.
Untungnya, sih, pikiranku memang berlebihan. Seperti biasa.
Pada akhirnya, malam itu pesta berjalan lancar dan menyenangkan. Sekitar 30 orang hadir menikmati pesta hingga usai. Kelian banjar juga datang memberikan sambutan. Di Bali, kalau kelian banjar sudah datang dan memberi restu, setidaknya sudah amanlah.
Selebihnya, senang sekali karena bisa melalui satu lagi kegiatan penting BaleBengong, AJW 2021. Malam itu adalah pesta penutupannya.
Malam Puncak AJW 2021 pun menjadi semacam penegasan bagaimana kami harus beradaptasi dengan suasana pandemi. Kegiatan tidak boleh terhenti, tetapi di sisi lain juga harus mengantisipasi agar tidak menjadi klaster baru COVID-19.
Tahun ini, AJW pun belum beranjak dari tema pandemi COVID-19. Temanya, Bercovid-covid Dahulu Bangkit Bersama Kemudian. Lewat tema ini, kami ingin memperlihatkan bahwa banyak orang yang justru menciptakan hal-hal baru di tengah pandemi. Banyak optimisme meski pandemi belum juga sepenuhnya terkendali.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, ada pula penghargaan media warga bersama mitra tercinta kami, Combine Resources Institution.
Well, pandemi memang brengsek. Mematikan banyak hal, termasuk pekerjaan, keluarga, ataupun rencana. Namun, setidaknya dia jangan sampai membunuh harapan. Banyak kok hal-hal baik yang bisa dilakukan dengan segala keterbatasan saat ini.
Tema itu kami ejawantahkan dalam bentuk pemberian beasiswa liputan mendalam. Tak hanya dari Bali, tetapi juga daerah-daerah lain, seperti Flores (NTT), Wakatobi (Sulawesi Tenggara), Paloh (Kalimantan Barat), dan Derawan (Kalimantan Timur).
Laporan mendalam itu beragam. Misalnya tentang warga desa di Tabanan yang pulang kampung setelah tidak lagi bekerja di kapal pesiar akibat pandemi. Dia bekerja di pabrik pupuk organik. Pendapatan tentu jauh berkurang, tetapi setidaknya dia bisa meneruskan tanggung jawabnya.
Ada pula komunitas penyelam di Wakatobi yang kini mendedikasikan waktunya untuk memantau hiu hitam ketika turis tak lagi datang. Juga bank sampah digital di Gianyar, yang makin menjangkau makin banyak pelanggan ketika perjumpaan semakin dibatasi karena alasan pandemi.
Cerita mendalam mereka semua menginspirasi kami untuk membuat Malam Puncak AJW secara hibrida, paduan antara daring dan luring. Secara luring, kami mengadakannya di kantor sendiri. Lalu, kami menyiarkannya secara tunda lewat beragam platform: Twitter, Instagram, Facebook, dan YouTube.
Dengan konsep hibrida ini, persiapan memang jadi lebih ribet. Toh, hasilnya tetap asyik, setidaknya menurut kami. Malam itu kami seperti menegaskan, setelah melewati masa-masa sulit, tidak ada pilihan lain selain bangkit.
Leave a Reply