Setelah sempat diwarnai drama, satu kerjaan pun selesai juga.
Laporan Situasi Hak-hak Digital 2020 SAFEnet kami luncurkan pekan lalu secara daring. Secara personal, ini menyenangkan karena laporan tahunan kami bisa selesai lebih awal, April 2021. Dari sisi materi laporan juga rasanya lebih berkualitas.
Seperti juga banyak hal lainnya, laporan tahunan ini juga tak lepas dari situasi global, pandemi COVID-19. Ketika dunia serasa tunggang langgang menghadapi pandemi ini, pada saat yang sama, kita juga harus menghadapi hal lain, represi.
Pandemi justru memperkuat represi. Juga memerlihatkan gagapnya negara dalam memenuhi hak-hak digital bagi warganya.
Kami membaginya dalam tiga isu dalam hak-hak digital: hak untuk mengakses Internet, hak untuk bebas berekspresi, dan hak atas rasa aman. Berikut sekilas rangkumannya.
Hak Mengakses Internet
Untuk mencegah penularan COVID-19, negara memberlakukan pembatasan total (lockdown) atau pembatasan. Orang harus melakukan kegiatannya dari rumah, termasuk kerja, belajar, dan ibadah. Namun, negara belum bisa memenuhi ketersediaan internet yang bisa diandalkan (reliable) dari sisi ketersediaan dan kecepatan.
Sebenarnya penetrasi Internet di Indonesia terus meningkat. Hingga kuartal kedua 2020 jumlah pengguna Internet Indonesia mencapai 196,7 juta orang. Meningkat menjadi 73,7%, dari 64,8% pada 2018-2019 (APJII, 2020). Sumber lain menyebut pengguna Internet di Indonesia mencapai 202,6 juta orang dengan persentase sama, 73,7%. Akses dari perangkat bergerak (mobile) mencapai 345,3 juta atau 125,6%. Ini berarti tiap satu orang di Indonesia memiliki 1-2 perangkat bergerak.
Pengguna media sosial di Indonesia juga terus meningkat. Hingga awal tahun ini terdapat 170 juta pengguna, meningkat 6,3% dibanding setahun sebelumnya. YouTube merupakan platform yang paling banyak diakses di kalangan 181,9 juta pengguna berusia 16-64 tahun di Indonesia yaitu 93,8% atau lebij dari 17 juta pengguna. Setelah itu WhatsApp (87,7%), Instagram (86,6%), Facebook (85,5%), Twitter (63,6%), dan seterusnya.
Meskipun demikan, peningkatan penetrasi itu tidak berjalan lurus dengan pemerataan aksesnya. Keharusan berkegiatan dari rumah belum bisa dilakukan sebagian warga karena keterbatasan infrastruktur, ekonomi, dan kapasitas mereka.
Tanpa akses internet yang memadai, warga tidak bisa memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budayanya.
Hak untuk Berekspresi
Kriminalisasi terhadap pengguna Internet juga semakin marak selama pandemi COVID-19. Dalihnya, terutama untuk mengurangi maraknya penyebaran hoaks atau informasi yang mengadu antaridentitas yaitu suku, agama, ras, dan antargolongan. Labelisasi hoaks terhadap informasi yang tidak sesuai dengan informasi pemerintah dalam penanganan COVID-19 membuat banyak warga dituntut dengan UU ITE.
Sepanjang tahun 2020, SAFEnet mencatat setidaknya terdapat 84 kasus pemidanaan terhadap warganet. Jumlah ini meningkat hampir empat kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, 24 kasus.
UU ITE masih menjadi regulasi utama untuk membatasi ekspresi warganet. Dari 84 kasus, 64 kasus menggunakan ‘pasal karet’ UU ITE. Tepatnya Pasal 28 ayat 2 tentang Ujaran Kebencian (27 kasus), Pasal 27 ayat 3 tentang Pencemaran Nama Baik (22 kasus), dan Pasal 28 ayat 1 tentang Kabar Bohong Konsumen (12 kasus).
Selain UU ITE, ada juga tren penggunaan regulasi lain untuk membatasi ekspresi di ranah digital. Pasal 14-15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang keonaran paling banyak digunakan yakni tercatat 21 kasus, serta beberapa pasal penghinaan dalam KUHP seperti Pasal 270 dan 310.
Dari latar belakang korban, mereka yang banyak dilaporkan adalah warga (50 orang), aktivis (15 orang), buruh (4 orang), mahasiswa (4 orang), karyawan swasta (3 orang), pelajar 2 orang, dan jurnalis 1 orang. Jumlah warga dan aktivis yang dilaporkan pada 2020 jauh lebih tinggi dibandingkan 2019. Setahun sebelumnya, tren pemidanaan terjadi pada jurnalis dengan 8 kasus, aktivis 5 kasus dan warga 4 kasus.
Tahun lalu, Pemerintah Indonesia juga mengesahkan Peraturan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat, pada 16 November 2020. Aturan ini membuat Indonesia menjadi salah satu pemerintah yang mengusulkan kerangka hukum untuk memaksa platform media sosial, aplikasi, dan penyedia layanan online lain untuk menerima yurisdiksi lokal atas konten dan kebijakan serta praktik data pengguna mereka.
Jika tidak diantisipasi dengan baik, Permen ini berpotensi membuat represi negara semakin tak terkendali.
Hak atas Rasa Aman
Dari sisi hak atas rasa aman, kekerasan berbasis gender online dan serangan digital sepanjang tahun lalu juga makin marak. Kasus kekerasan berbasis gender online makin meningkat terutama di tingkat keluarga karena makin tingginya tekanan dalam keluarga akibat pandemi. Di sisi lain, serangan digital juga terus marak terkait dengan banyaknya kritik terhadap pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 ataupun pengesahan UU Cipta Kerja pada Oktober 2020.
Berdasarkan pemantauan selama 2020, terdapat 147 insiden serangan digital atau rata-rata 12 kali tiap bulan. Puncak serangan digital terjadi pada Oktober 2020 dengan jumlah insiden sebanyak 41 kali. Naik lebih dari tiga kali lipat dibandingkan rata-rata per bulan. Adapun insiden terendah terjadi pada Maret 2020 dengan 3 insiden.
Dari sisi korban, serangan digital paling banyak terjadi pada lembaga pemerintah dengan 38 insiden (25,85%) diikuti warga umum 30 insiden (20,41%), jurnalis 26 insiden (17,01%), aktivis 25 insiden (17,01%), mahasiswa 19 insiden (12,93%), dan organisasi masyarakat sipil 15 insiden (10,20%). Data tersebut menunjukkan bahwa serangan digital tetap paling banyak menyasar kelompok kritis yaitu jurnalis, aktivis (mahasiswa), dan organisasi masyarakat sipil, yang jika digabung jumlahnya mencapai 66 insiden (44,90%).
Temuan itu diperkuat fakta bahwa serangan-serangan semakin meningkat ketika ada isu politik nasional. Puncak serangan pada Oktober 2020 terjadi karena banyaknya penolakan terhadap pengesahan UU Cipta Kerja. Begitu pula dengan masifnya serangan pada Juni 2020 karena munculnya gerakan menolak diskriminasi rasial terhadap orang Papua dan serangan pada Agustus 2020 terhadap pengkritik penanganan pandemi COVID-19.
Pemantauan kami selama 2020 menegaskan temuan-temuan kami sebelumnya bahwa dunia digital memang tetap menjadi salah satu alat penting untuk mendorong perubahan oleh masyarakat sipil. Namun, di sisi lain, media digital juga menjadi alat represi terhadap masyarakat sipil ini, termasuk melalui serangan-serangan digital.
Leave a Reply