Perjuangan tiga tuna netra itu berlipat ganda.
Tidak hanya berjalan dengan kemampuan melihat yang terbatas (low vision), mereka juga harus menuruni jalan dengan sekitar 1.200 anak tangga. Tidak ada fasilitas inklusif untuk tuna netra seperti mereka.
Mereka hanya berpegangan pada pagar pembatas di tengah sebagai penunjuk jalan.
Sugihermanto, video blogger (vlogger) dengan satu mata buta, membuat rekaman perjalanannya bersama dua tuna netra lain itu bermodal ponsel. Sesekali dia menggunakan gaya swavideo. Di gambar lain dia lebih banyak menggunakan sudut pandang ketiga, dua temannya jadi narasumber.
Sugihermanto tak hanya merekam susahnya perjalanan ke air terjun Dolo di Kabupaten Kediri, Jawa Timur itu. Layaknya jurnalis, dia juga kemudian menggunggah video berdurasi 6 menit 22 detik itu ke saluran YouTube-nya, Mlaku-mlaku, pada 11 Oktober 2019 lalu.
Video berjudul Air Terjun Dolo, Sengsara Membawa Nikmat itu menambah 28 video lain yang sudah diunggah sejak 7 Februari 2017.
Seperti namanya, saluran Mlaku-mlaku, dari bahasa Jawa yang berarti jalan-jalan, memang berisi video perjalanan Sugihermanto ke banyak tempat. Namun, video itu tak sekadar perjalanan biasa. Sugihermanto sebagai penyandang low vision juga seringkali menyisipkan pesan kepada pemirsa tentang betapa tidak ramahnya fasilitas publik pada difabel seperti mereka.
Video lainnya, berjudul Pantai Parangtritis, Keindahan dalam Kegelapan, menceritakan perjalanan laki-laki asal Surabaya, Jawa Timur itu ke pantai paling populer di Yogyakarta. Serupa video jalan-jalan ke Kediri, video di Parangtritis itu juga memperlihatkan hal serupa, kurang inklusifnya tempat wisata kepada penyandang tuna netra.
Bagi saya, hal menarik dalam video-video Sugihermanto adalah karena dia mempertemukan dua hal yang sebenarnya agak muskil bersanding, keindahan dan kebutaan. Sebagai penyandang low vision, Mas Sugik, panggilan akrabnya, justru memerlihatkan indahnya berbagai lokasi wisata sekaligus berusaha membuka mata lebih banyak orang tentang betapa tidak ramahnya tempat-tempat itu pada kelompok difabel.
Bukan hanya saya yang menganggap video-video Mas Sugik istimewa.
Pada akhir Juni 2019 lalu, tiga juri Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2019 lalu memberikan nilai terbaik bagi video perjalanan Mas Sugik ke Pantai Parangtritis. Ketiga juri, pegiat media warga Ahmad Nasir, sutradara dan videografer Dandhy Dwi Laksono, dan editor BaleBengong Luh De Suriyani, sepakat menjadikan karya Mas Sugik sebagai juara pertama dalam AJW 2019 kategori video.
Video itu dianggap memberikan informasi terbaik tentang bagaimana susahnya komunitas difabel mengakses layanan publik, termasuk objek wisata. Karena iulah dia dianggap istimewa. Dia datang dari mereka yang mengalami sendiri dan selama ini kurang mendapat tempat di media arus utama, kelompok difabel.
Dalam sebuah pelatihan jurnalisme warga untuk teman-teman difabel di Denpasar, Bali pada awal Oktober 2019 lalu, video karya Mas Sugik menjadi salah satu contoh bagaimana kelompok difabel bisa ikut bersuara melalui media warga. Baik secara personal maupun melalui komunitas. Ketika difasilitasi, teman-teman difabel bisa menyampaikan informasi dari sudut pandang berbeda. Sesuatu yang tidak mudah dilakukan media-media arus utama.
Karena itu, kelompok difabel juga perlu terlibat dalam memproduksi informasi. Alasannya antara lain karena informasi tentang isu difabel masih sangat terbatas di Internet, terutama dari perspektif mereka. Sudah saatnya komunitas difabel tidak hanya mengonsumsi, tetapi juga turut memproduksi informasi itu sendiri, seperti Mas Sugik.
Perspektif Berbeda
Di tengah terbatasnya informasi tentang komunitas difabel di Internet, video Mas Sugik layak mendapatkan apresiasi. Dan, itulah salah satu alasan kenapa kami mengadakan AJW sejak 2016 lalu.
Kami memulai AJW empat tahun lalu dengan niat memberikan apresiasi pada karya-karya warga yang terbit di BaleBengong. Kami melihat bahwa seiring kian banyaknya warga yang berpartisipasi dalalm produksi informasi melalui media jurnalisme warga, perlu juga ada upaya mengapresiasi karya-karya mereka. Harapannya, warga makin terlibat dalam jurnalisme warga.
Saat itu kami memulai dalam bentuk kompetisi bertema Menyuarakan yang Tak Terdengar. Nama kegiatannya masih keminggris, Citizen Journalism Award. Tema itu merujuk pada niat agar makin banyak warga mau menyampaikan informasi-informasi tentang isu menarik di sekitar mereka, tapi belum banyak diketahui publik.
Sebagai awalan, AJW 2016 hanya berlaku untuk Apresiasi pada kontributor BaleBengong, media jurnalisme warga yang kami kelola sejak 2007. Hal menyenangkan dari proses itu adalah ternyata banyak juga warga yang mau berpartisipasi. Tidak hanya kontributor yang selama ini sudah ikut, tetapi juga teman-teman baru. Mereka menuliskan ceritanya seperti yang kami harapkan. Bukan cerita-cerita besar, narasi-narasi yang hanya ada di media arus utama, tetapi juga petani, difabel, lansia, dan seterusnya.
Penghargaan terbaik adalah cerita tentang warung seorang nenek di Batubulan, Gianyar. Kawasan tetangga Kota Denpasar ini berubah dari waktu ke waktu. Dulunya sebagai sebuah desa, saat ini sudah menjadi daerah urban. Perubahan ini tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial secara budaya. Dia mengubah pola interaksi warga di desa itu.
Salah satu peserta AJW 2016 menuliskan tentang perubahan itu. Bagaimana warung seorang nenek, dalam bahasa Bali disebut dadong, menjadi tempat untuk melihat perubahan-perubahan. Jalan utama yang makin susah dilewati seiring pelebaran menjadi jalan raya sehingga mengubah interaksi warga. Warung-warung kecil berganti toko-toko besar milik warga desa tetangga.
Cerita berjudul Suara Berbeda di Warung Dadong Koda itu bisa melihat bagaimana pembangunan fisik berdampak terhadap relasi sosial dari kacamata warganya sendiri. Cerita sehari-hari yang tak banyak terdengar di antara hiruk pikuk arus utama saat ini. Topik yang selama ini menjadi cerita utama di BaleBengong.
Cerita-cerita serupa pula yang berikan penghargaan ketika mengadakan AJW pada tahun kedua, 2017. Cerita-cerita dari akar rumput berdasarkan sudut pandang warga tentang cerita-cerita baik di sekitar mereka. Bedanya, kami tidak hanya membuka AJW untuk kontributor di Bali, tetapi juga mengajak media-media komunitas lainnya di Indonesia. Kami ingin memperluas apresiasi karena melihat media seperti BaleBengong semakin banyak di berbagai pelosok negeri.
Ada sebelas media komunitas terlibat dalam AJW 2017 yang bertema Bhinneka Tunggal Media, Merayakan Keberagaman Indonesia Melalui Jurnalisme Warga. Mereka adalah Lingkar Papua (Papua), Kampung Media (Nusa Tenggara Barat), Kabar Desa (Jawa Tengah), Plimbi (Bandung), Kilas Jambi (Jambi), Tatkala (Bali), Nyegara Gunung (Bali), Nusa Penida Media (Bali), Sudut Ruang (Bengkulu), Peladang Kata (Kalimantan Barat), dan Noong (Bandung).
Peserta AJW bebas mengirimkan karyanya ke media-media tersebut. Tidak harus ke BaleBengong sebagaimana pada AJW tahun sebelumnya.
Pencapaian pada tahun kedua ini, menurut saya, adalah karena AJW sebagai penghargaan tahunan untuk pewarta warga makin dikenal. Tidak hanya di Bali, tetapi juga beberapa daerah. Kami juga bisa memperluas jaringan ke media-media komunitas lain di Indonesia, meskipun sebagian mereka juga saat ini sekarat atau bahkan sudah tidak terbit lagi.
Memperdalam Cerita
Pada tahun ketiga, kami mengubah lagi format AJW. Dari sebelumnya sebagai kompetisi cerita para warga, kami mengubahnya menjadi ajang beasiswa untuk liputan-liputan mendalam. Saat itu kami jengah dengan maraknya berita pemburu klik (clickbyte) yang menyajikan sensasi dan kedangkalan. Di sisi lain, media-media jurnalisme warga juga justru mendapat tuduhan sebagai media penyebar kabar-kabar dusta (hoax).
Kami yakin jurnalisme warga bisa lebih baik. Tidak hanya melawan maraknya hoaks, tetapi juga menyampaikan kedalaman. Bentuknya kemudian kami buat dalam bentuk beasiswa liputan tentang topik-topik khusus di Bali. Tetap dari akar rumput.
Ada sekitar 30 ide liputan tentang tema beragam, seperti pertanian berkelanjutan, wisata bahari, mitigasi bencana, dan konservasi kawasan perairan. Dari situ kami memilih lima kelompok pewarta warga yang kemudian membuat laporan mendalam bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah (ornop) pelaksana program yaitu WWF Indonesia, Conservation International Indonesia, Mongabay Indonesia, dan Yayasan Kalimajari.
Proses ini lebih menantang. Karena tak sekadar menilai karya-karya yang sudah ada, tetapi juga mendampingi para pewarta warga mulai dari perencanaan, peliputan, pembuatan cerita, perbaikan, sampai penerbitan. Namun, hasilnya juga lebih menyenangkan. Ada lima laporan mendalam tentang cerita-cerita sukses di akar rumput meskipun masih fokus di Bali.
Hal yang kami pelajari dari sana adalah bahwa pewarta warga yang sering dianggap amatir itu pun bisa menghasilkan karya-karya jurnalistik bermutu. Melalui liputan mendalam, pewarta warga yang sebagian besar mahasiswa dan pelajar SMA ini, bisa menampilkan cerita detail, panjang, dan tentu saja berasal dari akar rumput. Sesuatu yang makin langka, terutama di media daring arus utama.
Tahun ini, AJW kami laksanakan dengan dukungan dari Combine Resources Institution (CRI), lembaga di Yogyakarta yang fokus pada pengelolaan informasi terutama di desa-desa. Bentuknya kembali pada kompetisi untuk media-media warga, bisa media jurnalisme warga ataupun media komunitas, dalam format teks, video, ataupun radio. Kami juga memberikan penghargaan untuk media warga dan komunitas pegiat literasi digital.
Untuk pertama kali pula kami mengadakan pertemuan media warga di Bali membahas perlunya perlindungan hukum bagi media warga. Hal ini karena kami melihat makin banyak warga Internet (warganet) yang dikriminalisasi karena ekspresi mereka di Internet. Tidak sedikit di antaranya dari media-media yang belum bersertifikasi.
Pembelajaran dan Tantangan
Dari empat tahun pelaksanaan AJW, kami belajar banyak hal. Pertama, dalam konteks media jurnalisme warga sebenarnya banyak media jurnalisme warga di Indonesia ini yang aktif di masing-masing komunitasnya. Media warga ini, dalam bahasa kami dan teman-teman CRI, adalah media yang dikelola warga, tentang warga, dan untuk warga. Mereka tidak dimiliki korporasi ataupun parpol. Tujuannya lebih banyak untuk pendidikan dan penyebaran informasi. Bukan media yang tujuannya bisnis seperti halnya media media arus utama saat ini.
Kami sempat membuat survei juga. Ada 40-an media warga yang terdata. Belum lagi yang mungkin tidak terjangkau oleh kami. Mereka relatif menyebar di hampir semua daerah, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Flores, sampai Papua. Media-media semacam ini banyak tumbuh di antara kian banyaknya pula media-media berorientasi bisnis.
Kedua, warga juga sebenarnya dengan senang hati terlibat memproduksi karya jurnalistik bermutu kalau ada yang memfasilitasi seperti halnya AJW. Ruang-ruang semacam ini bisa menjadi saluran bagi warga untuk bersuara ketika media arus utama itu semakin dikuasai oleh elite, baik itu elite politik maupun elite ekonomi.
Ketiga, banyak sekali cerita menarik di sekitar kita yang kita anggap tidak penting, tetapi bisa menjadi bagian dari pelajaran kita sehari-hari. Misalnya keberhasilan petani kakao di Jembrana, Bali untuk menghasilkan kakao berfermentasi atau kelompok marjinal seperti Mas Sugik.
Nah, berita-berita baik semacam itu bagaimanapun juga membutuhkan partisipasi warga, karena kita tahu media arus utama terbatas ruang dan kemampuannya meski mereka memiliki modal besar. Kalau kita melibatkan lebih banyak warga, maka akan makin banyak suara bisa menjadi informasi tambahan melengkapi apa yang ada di media arus utama.
Tantangannya sekarang, kegiatan semacam AJW ini juga bukan hal mudah. Perlu konsistensi dan sumber daya besar. Karena itu perlu dukungan para pihak, misalnya korporasi atau pemerintah, tetapi dengan catatan tidak ada titipan sponsor yang terlalu mendikte. Dengan demikian AJW tetapi bisa berlangsung konsisten dan menjadi ruang penghargaan bagi jurnalisme berkualitas yang dibuat para pewarta warga di Indonesia.
Catatan: Tulisan ini dibuat untuk majalah e-Kombinasi dan sudah terbit pada 24 September 2019.
Leave a Reply