“Mau liputan tentang tapol di sana?”
Pertanyaan beberapa teman relatif sama ketika tahu aku hendak ke Pulau Buru. Semacam penegasan betapa identiknya Pulau Buru dengan tahanan politik (tapol) 1965.
Padahal, pulau di Provinsi Maluku ini tidak hanya tentang sejarah kelam dalam politik modern Indonesia tersebut. Pulau Buru memiliki cerita keren tentang nelayan-nelayan kecil yang menerapkan prinsip perdagangan berkeadilan (fair trade).
Untuk itulah aku ke Pulau Buru kali ini. Liputan tentang nelayan fair trade.
Ide liputan sudah muncul sejak awal Agustus lalu setelah aku ikut pertemuan tentang perikanan berkelanjutan di Jimbaran. Selain menjadi juri di salah satu sesi, di sana juga aku ketemu Mas Aditya Utama dari Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) dan Pak Robert Tjoanda dari PT Harta Samudera.
Nelayan Kecil Lebih Sejahtera dengan Perdagangan Berkeadilan. Kok Bisa?
Kedua pihak itu bekerja sama dalam program perikanan fair trade di Maluku. Salah satunya di Pulau Buru.
Asyiknya, Mongabay menerima usulanku untuk liputan mendalam ke sana. Maka, jadilah aku ke Pulau Buru untuk pertama kalinya.
Ada dua jenis transportasi ke Pulau Buru lewat Ambon. Penerbangan yang kalau tak salah hanya seminggu dua kali dan kapal feri yang ada tiap hari. Bersama satu teman dari MDPI dan konsultan keuangan, kami memilih naik kapal feri dari Ambon ke Pulau Buru.
Perjalanan dengan kapal feri dari Ambon ke Pulau Buru selama sekitar 10 jam. Dari pukul 8 malam sampai pukul 4 pagi. Selama perjalanan, aku cuma ngorok. Jadi tak terasa ketika tiba-tiba sudah sampai di Namlea, kota pelabuhan di Pulau Buru.
Hal yang perlu dicatat adalah perlunya hati-hati pas membeli tiket kapal feri Ambon-Buru ini. Pastikan beli tiket kelas bisnis biar bisa tidur. Atau bisa juga dengan bayar kamar khusus anak buah kapal seharga Rp 200.000 lewat jalur khusus.
Kalau tiket ekonomi cuma bisa duduk atau tidur di lantai kapal beralaskan tikar beli Rp 10.000.
Pukul 4 pagi kami tiba di Namlea. Tetapi suasana sudah kayak pasar sepagi itu. Ramai dengan penyambut menawarkan kendaraan. Jika sendirian, haqqul yakin aku pasti gelagapan tak tahu harus bagaimana.
Untungnya ada Yasmine Simbolon, alias Jes, Koordinator Far Trade MDPI yang sudah biasa ke sana. Pertama dia menawar taksi. Harga dari taksi, kalau tak salah dengar, sampai Rp 700 ribu ke desa tujuan kami di Waplau. Harga yang tak masuk akal.
Piliha kedua, kami pun pergi dengan angkot. Kalau tak salah hanya Rp 20 ribu per orang. Aku lupa, tepatnya tidak tahu, karena dibayarin sama si Jes. Hehehe..
Angkot kami berisi sekitar 10 penumpang. Dari Pelabuhan Namlea, kami melewati gelapnya jalanan Pulau Buru. Jalanan relatif datar dan lebar. Selebihnya hanya gelap.
Aku kemudian tertidur.
Ketika bangun, angkot ternyata sudah berhenti. Sebagian penumpang juga turun. Aku pikir sudah sampai tujuan, rumah juragan pembeli ikan tuna di Buru. Ternyata tidak. Ban angkot kami bocor. Terpaksa berhenti.
Aku cuek bebek saja di dalam angkot. Melanjutkan tidur.
Hari sudah agak terang ketika kami tiba di perusahaan pengolahan ikan tuna fair trade PT Harta Samudera di Desa Waplau. Pemilik perusahaan itu, Oei Eng San menyambut kami. Wajahnya Cina tetapi logatnya sangat Ambon.
Basa-basi sebentar, datanglah kopi. Nasi goreng datang menyusul kemudian. Hal istimewa dari nasi goreng itu adalah daging tuna yang dimasukkan dalam menu tersebut. Gurih. Enak.
Namanya belly, bagian dalam perut ikan tuna. Kemudian baru aku tahu, inilah salah satu menu khas Pulau Buru ketika aku berkunjung ke desa-desa nelayan di bagian utara pulau ini.
Ceritanya nanti lanjut di tulisan lain saja..
Leave a Reply