Merebut Kedaulatan Petani atas Benih Sendiri

1 , , , Permalink 0

Bersemi Dalam Tekanan Global0001Secarik kertas itu memaksa Kuncoro masuk penjara.

Petani di Dusun Besuk, Desa Toyoresmi, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Jawa Timur itu ditangkap pada 16 Januari 2010 lalu. Dia dituduh memalsukan merek benih jagung.

Pagi itu, 15 anggota polisi menangkapnya. Mereka membawa surat perintah dari Polres Kediri untuk menahan Kuncoro. Setelah itu, petani pengembang benih itu pun harus tinggal di penjara selama tujuh bulan.

Penahanan Kuncoro berawal dari laporan perusahaan benih PT BISI. Perusahaan benih anak perusahaan Charoen Phoekphand ini melaporkan Kuncoro ke polisi dengan sangkaan melakukan tindak pidana pembudidayaan tanaman tanpa izin. Negara dan korporasi menggunakan Undang-undang (UU) nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman serta UU no. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

Maka, atas nama perlindungan terhadap varietas unggul milik korporasi, petani kecil seperti Kuncoro pun ditangkap oleh negara. Dia pun dipenjara.

Tak hanya Kuncoro. Menurut catatan Kediri Bersama Rakyat (KIBAR) dan Aliansi Petani Indonesia (API), sekitar 14 petani lain juga mengalami kriminalisasi saat mereka melakukan budidaya benih jagung.

Jika belasan petani di Kediri bisa dijerat oleh UU no 12 tahun 1992, maka jutaan petani di Indonesia pun bisa mengalami hal serupa. Dalam bahasa sarkas, UU no 12 tahun 1992 adalah jaring yang dibuat negara dan ditebar oleh korporasi untuk menjerat leher para petani.

Karena itulah, maka Jaringan Advokasi Petani Pemulia Tanaman melakukan upaya mengubah UU tersebut. Di sisi lain, jaringan tersebut bersama para petani, organisasi petani dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga terus mendorong agar petani berdaulat untuk membuat benih sendiri, menggunakan, dan menyebarluaskannya.

Advokasi
Buku Bersemi dalam Tekanan Global menceritakan bagaimana proses advokasi agar petani berdaulat atas benihnya sendiri itu dilakukan. Penerbit buku ini adalah Yayasan Field Indonesia bekerja sama dengan beberapa LSM pendukung petani seperti API, Serikat Petani Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, dan lain-lain.

Buku ini terdiri dari dua bagian utama yaitu Bagian Pertama: Bersemi dalam Tekanan Global serta Bagian Kedua: Petani dan Persoalan Hukum. Di bagian pertama terdiri dari beberapa topik seperti globalisasi benih, penurunan keanekaragaman hayati dan kerusakan ekologi akibat benih-benih made in korporasi, upaya petani untuk merdeka di ladang sendiri, benih lokal tumbuh mengakar, serta mewujudkan kedaulatan petani atas benih.

Bagian kedua berisi tema petani dan persoalan hukum. Tulisan-tulisan di bagian ini antara lain tentang perjuangan petani dan para pendukung untuk merebut benih di ranah hukum, catatan kritis terhadap UU terkait perbenihan serta upaya uji materi UU tersebut di Mahkamah Konstitusi.

Dari struktur tersebut terlihat bahwa buku ini menceritakan dengan terurut agar pembaca bisa memahami bagaimana isu benih ini tak semata terkait dengan petani dan dunianya tapi juga peliknya globalisasi dan karut marut hukum yang menjerat petani.

Dengan gaya bertutur di bagian awal buku ini mengisahkan petani-petani kecil di berbagai tempat yang mengembangkan benih lokal selama ini. Upaya petani ini kemudian dihadang oleh berbagai aturan global dan nasional yang menjadikan para petani sebagai korban.

Dampaknya, benih-benih hibrida produksi korporasi itu menghilangkan benih-benih lokal. Penguasa bisnis global benih seperti PT Dupont Indonesia, PT Bayer Indonesia, dan PT BISI International Tbk maupun perusahaan nasional seperti PT Biogene Plantattion, Trusaha Tani, dan Sumber Alama Sutera (SAS) membuat benih-benih lokal terancam punah.

Penyusun buku memaparkan banyak fakta dan data bahwa benih telah dikuasai dan dimonopoli perusahaan internasional.

Setia
Ketika benih-benih korporasi terus menggurita di berbagai sawah dan kebun petani, pada saat yang sama juga masih ada petani-petani yang tekun dan setia mengembangkan benih lokal.

Tulisan berjudul Merdeka di Ladang Sendiri memberikan contoh Mbak Gatot Surono dari Purbalingga, Jawa Tengah yang terus memuliakan benih padi lokal. Ada pula Joharipin petani Desa Jengkok, Kecamatan Kertasmaya, Indramayu yang beralih ke bibit lokal karena merasa sangat tergantung pada input luar. Anehnya, mereka justru berhadapan dengan aparat pemerintah meskipun tak sampai dipenjara.

Karena itulah petani bersama jaringan yang mendukungnya pun melakukan upaya revisi UU yang selama ini menjerat mereka. Proses ini dilakukan lewat advokasi, lokakarya, pertemuan pakar, dan aksi.

Bagian kedua buku ini, Petani dan Persoalan Hukum membahas aspek hukum terkait dengan perbenihan di Indonesia. Setelah menceritakan pengalaman Kuncoro, tulisan-tulisan lain membahas karut marut masalah hukum. Bahasan ini agak detail dan membosankan, tapi bagus pula untuk tentang hukum agar pembaca lebih melek.

Buku ini ditutup dengan tulisan tentang upaya revisi UU atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Jaringan Advokasi Petani Pemulia Tanaman. Tujuan revisi UU ini adalah agar petani diberikan kemerdekaan untuk membuat benih sendiri. Sayangnya, buku ini tidak menjelaskan hingga akhir proses uji materi di MK tersebut.

Hasil uji materi itu sendiri berakhir dengan kemenangan pengaju revisi, petani dan para pendukungnya. Pada Juli 2013, hakim MK menyatakan petani bebas melakukan pemuliaan dan pendistribusian benih. Petani boleh mengembangkan varietas unggul tanpa harus izin pemerintah. Mereka kembali berdaulat di atas benih sendiri meskipun masih berhadapan dengan kuatnya tekanan korporasi.

Judul: Bersemi dalam Tekanan Global
Penulis: Franditya Utomo
Penerbit: Yayasan Field Indonesia, Februari 2013
Tebal: x + 141 halaman
ISBN: 978-602-98355-8-8

1 Comment
  • Cahya
    November 2, 2013

    Berarti setiap petani bisa mengembangkan galurnya sendiri-sendiri dong? :).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *