Karena Membeli Buku Lebih Mudah daripada Membacanya

0 , Permalink 0

Hingga 20 tahun lalu, buku bukanlah barang murah bagiku.

Aku hanya membacanya di perpustakaan umum, entah milik sekolah, kampus, ataupun pemerintah. Harga buku terlalu mahal bagiku.

Toh, meskipun mahal, aku begitu akrab dengan buku.

Ketika masih SD, aku biasa menyendiri di perpustakaan sekolah. Seingetku tak ada satu pun teman yang mau ikut membaca buku bersamaku.

Dalam kesendirian di perpustakaan kecil sekolah itu, aku mengembara bersama buku-buku. Cerita perjalanan, misalnya menyelam di Pulau Seribu, begitu membekas di ingatanku karena terbayang nikmatnya berenang bersama ikan-ikan.

Cerita detektif, semacam Lima Sekawan, membuatku jatuh cinta pada kisah-kisah penyelidikan dan konspirasi hingga saat ini.

Buku-buku pula yang menemaniku saat remaja, ketika SMP hingga SMA. Mereka yang menemaniku saat aku angon sapi atau kambing di lereng Gunung Menjuluk, sebutan untuk bukit di desa kami.

Begitu pula saat kuliah. Perpustakaan Daerah di Jalan Teuku Umar Denpasar menjadi lokasi favorit menghabiskan waktu setelah kuliah atau Sabtu. Apalagi setahun pertama di Bali aku tinggal hanya berjarak 300an meter dari Perpusda.

Ada satu dosa yang masih aku ingat, mencuri buku dari novel dari Perpusda Bali. Judulnya Lapar karya Knut Hamsun, penulis Norwegia.

Kalau tak salah buku itu menceritakan orang miskin yang kelaparan di kota. Sudah hampir 20 tahun lalu aku membacanya. Jadi agak lupa. Aku cuma ingat suka sekali ceritanya sampai kemudian mencuri buku itu.

Ada benarnya, kemiskinan memang lebih dekat pada kejahatan. Karena tak bisa membeli, aku pun mencuri. Hihihi..

Namun, ketika akhirnya bisa membeli buku, dan rasanya begitu mudah bagiku saat ini, ternyata aku justru makin jauh dari buku-buku.

Salah satu momen yang aku ingat adalah saat aku akhirnya bisa membeli sejumlah buku dengan total lebih dari Rp 100.000. Aduh. Rasanya benar-benar seperti salah satu pencapaian terpenting dalam hidupku.

Buku-buku kemudian menjadi barang yang tak lagi susah terjangkau. Semahal apapun, jika aku memang suka, aku pasti membelinya. Namun, pada saat yang sama, ketika sesuatu itu makin mudah didapat, pada saat yang sama memang makin berkurang penghargaan terhadap sesuatu itu.

Begitu pula dengan buku.

Oktober lalu mencatat rekor buku termahal yang aku beli. Dua buku (asing) dengan harga sekitar Rp 700 ribu. Judulnya Data and Goliath dan The Future Crimes. Toh, tiga bulan berselang, aku belum juga membaca satu pun buku-buku itu.

Aku cek di rak perpustakaan, ada empat buku lain yang sudah aku beli tapi belum aku selesaiin tahun ini.

Kacrutlah aku ini.

Dulu, zaman masih serba susah, buku menjadi sesuatu yang dicuri untuk dibaca. Sekarang, sebaliknya. Beli buku-buku tebal dan mahal tapi kemudian hanya jadi barang koleksi. Demi gengsi tapi malah ngisin-ngisini.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *