Kompas pagi ini nyambung banget.
Di halaman Internasional, dia menulis tentang kontroversi Trump dari waktu ke waktu. Utamanya saat dia sudah terpilih jadi Presiden Amerika Serikat.
Bukan tentang Donald Trump yang membuat artikel itu nyambung tapi tentang bagaimana para intelektual Amerika Serikat merespon presiden baru mereka itu.
Kompas mengutip beberapa intelektual atau tokoh terkemuka yang menuliskan pendapat mereka tentang Trump. Misalnya George Soros, tokoh filantropi, yang menulis di situs Syndicate Project. Ada juga intelektual lain yang membahas Trump di media alternatif Huffington Post.
Aku jadi iri. Asyik sekali para intelektual Amerika Serikat ini. Mereka mau membagi ide-idenya tentang isu-isu mutakhir melalui media-media alternatif.
Kemarin, aku ngobrol topik serupa dengan beberapa teman perjalanan: Dadap, Dewi Kharisma, Indra, dan Jay. Kami di Negara untuk nonton bareng film Masean’s Messages. Obrolan sambil lalu itu terjadi saat kami menunggu menu ikan bakar dan sup kepala ikan sedang disiapkan untuk makan siang.
Obrolan kami seputar: kenapa sedikit sekali intelektual di Bali yang mau menulis? Atau, jika mereka menulis, di mana kami bisa menemukan tulisan-tulisan itu?
Pertanyaan itu sebenarnya turunan dari topik iseng lain, apakah kita harus jadi spesialis atau generalis. Tapi, karena obrolan memang sekadar kangin kauh, akhirnya sampailah pada topik itu tadi: (sengaja diulang) kenapa sedikit sekali intelektual di Bali yang mau menulis? Atau, jika mereka menulis, di mana kami bisa menemukan tulisan-tulisan itu?
Pertanyaan itu berangkat dari pengalaman susahnya menemukan suara-suara intelektual alternatif atau progresif di Bali dalam isu tertentu. Dalam kasus paling mutakhir semacam Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, sebagai contoh, aku kok tidak mendengar adanya semacam kelompok diskusi alternatif yang memberikan opini terkait isu besar tersebut.
Begitu pula dalam isu kontroversial lain, seperti konservatisme Arya Wedakarna, menguatnya politik identitas, eksploitasi lingkungan Bali, dan seterusnya.
Memang ada satu dua suara tapi lebih banyak serupa gumaman di media sosial daripada sebuah hasil perenungan dan analisis mendalam terkait topik-topik yang disampaikan melalui media alternatif. Menurutku, suara-suara itu akan lebih bergema jika disampaikan secara terus menerus melalui sebuah kelompok.
Untuk itu, pertama, perlu adanya komunitas, kelompok, jaringan, atau apalah namanya, intelektual Bali progresif ini. Mungkin aku terlalu jadul, tapi intelektual ini mengacu kepada pemikir, akademisi, atau peniliti yang memang ahli pada bidang tertentu. Spesialis. Bukan generalis yang mengomentari semua isu seolah-olah ahli.
Pendapat para ahli ini kemudian disalurkan melalui syarat kedua, media-media alternatif. Menarik kalau ada yang membuat semacam IndoProgress sebagai wadah pemikiran-pemikiran alternatif pada intelektual Bali tersebut.
Atau, jika terlalu malas untuk membuat dan mengelola sendiri, bisa kok menulisnya di BaleBengong. :p
Dalam sejarah Bali, perdebatan itu pernah terjadi intens antara Bali Adnyana dan Suryakanta di Bali Utara. Pada saat itu, topik diskusinya juga asyik, seperti keseteraan gender, modernisasi vs tradisi, dan lain-lain.
Jika pada 1920-an sudah ada debat asyik para intelektual Bali melalui Suryakanta dan Bali Adnyana, kenapa sekarang tidak ada lagi?
Leave a Reply