Karena Membaca Buku Tak Harus Buru-buru

0 , Permalink 0

Bikin target baca, dong, tahun depan.

Nike, teman blogger, memberikan saran demikian. Sebagai kupu-kupu, eh, kutu buku, si mbak ini memang rajin memuat target membaca buku tiap tahun. Selama 2018, dia bahkan sudah melampaui targetnya, 137 buku.

Seratus tiga puluh tujuh buku dalam setahun. Artinya satu buku rata-data dibaca tak sampai tiga hari. Menakjubkan!

Keberhasilan si mbak ini memang mengesankan. Sepertinya asyik sih jadinya. Punya target seberapa banyak buku kita baca dalam waktu tertentu. Cuma, aku sendiri kok gak terlalu suka membuat target baca buku begitu.

Ini hanya sedikit dari banyak alasan kenapa aku tidak melakukannya.

Pertama, secara pribadi aku merasa tidak terlalu ambisius (nyaris) dalam hal apapun. Kerjaan. Karier. Hidup. Harta. Semua mengalir lempeng begitu saja. Tidak terlalu suka bernafsu untuk mengejar hal tertentu.

Ibarat perjalanan, aku lebih menikmati apa yang sedang aku lewati daripada terlalu fokus pada tujuan. Karena, bukankah perjalanan itu sendiri sesuatu yang perlu kita nikmati, bukan semata tujuan?

Pandangan ini pun berpengaruh pada urusan membaca buku. Menikmati tiap buku itu lebih asyik daripada mengejar jumlah tertentu.

Kedua, membaca buku itu sesuatu yang sudah membadan. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan. Membaca buku bukanlah kegiatan yang harus dipaksakan. Setidaknya aku belajar begitu sejak dulu.

Ketika kebiasaan baca buku itu sudah membadan, menjadi bagian dari keseharian, kita akan melakukannya dengan penuh kesadaran. Keinginan untuk membaca buku akan datang dari diri sendiri. Bukan “pihak luar” semacam target itu.

Pada awal-awal belajar membaca, misalnya anak-anak, mungkin ini hal tepat untuk dilakukan, “memaksa” anak membaca agar terbiasa lalu jadi kebiasaan.

Namun, tak pas rasanya untuk orang yang sudah menjadikan kegiatan membaca sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dalam keseharian.

“Pihak luar” semacam target jumlah bacaan itu akan membuat proses membaca jadi terasa buru-buru. Sebab, kita kemudian berusaha mengejar atau bahkan memaksa diri agar mencapai target buku yang terbaca.

Aneh rasanya memaksa sesuatu yang seharusnya sudah jadi kebiasaan.

Ketiga, cara membaca dan jenis bacaanku tidak bisa direncanakan. Karena berubah-ubah sesuai keinginan, kebutuhan, atau kebetulan.

Dari sisi jenis bacaan memang cenderung tak berubah dari dulu. Tema buku bacaanku masih berkisar pada novel (sepertinya ini paling banyak), kajian budaya (cultural studies), media, jurnalisme, globalisasi, dan akhir-akhir ini terkait hak-hak digital (digital rights).

Meskipun temanya bisa diperkirakan, tentu tidak dengan judul bukunya. Begitu pula dengan ketebalannya. Ada yang mungkin hanya puluhan. Ada yang mungkin bahkan ribuan. Kalau tebal bukunya tak bisa ditentukan, menurutku, susah juga menghitung berapa lama waktu diperlukan untuk menyelesaikannya.

Berdasarkan pengalaman pribadi, buku-buku yang aku baca ini juga meloncat-loncat. Contohnya Desember ini. Sudah sebulan membeli buku Identitas dan Kenikmatan karya Ariel Heryanto, eh, belum baca juga tetapi malah baca novel yang sudah pernah aku baca 13 tahun lalu, Samurai: Kastel Awan Burung Gereja karya Takashi Matsuoka.

Begitu selesai baca Samurai, pas jalan-jalan ke Gramedia nemu Tsukuru Tazaki karya Haruki Murakami. Jadilah baca karya Murakami. Padahal di kamar masih ada dua buku keren hadiah Bunda dari Amerika yang satu di antaranya masih aku baca di Bab 2.

Bacaan yang meloncat-loncat ini terjadi karena aku lebih banyak memilih buku karena mood, bukan kebutuhan. Pekerjaanku tidak mengharuskan baca banyak referensi tertentu layaknya akademisi atau meneliti. Paling hanya butuh sesekali.

Hal lain yang membuatku tak bisa menargetkan jumlah bacaan adalah karena aku lebih sering membeli buku secara spontan. Pas jalan-jalan ke toko buku, pas mampir kios buku saat di bandara, atau memang dapat begitu saja entah di mana.

Dengan pola pembelian buku begitu, susah rasanya menarget jumlah tertentu.

Menurutku, hal lebih penting adalah membaca dengan baik tiap buku yang dibeli, menikmati tiap alurnya, menyimak tiap katanya, dan – paling penting – bisa menyelesaikannya.

Membaca buku mungkin serupa perjalanan. Nikmati saja perjalanan itu. Nikmati tiap tempat yang kita lewati. Nikmati hamparan sawah menghijau terbuka sepanjang rel kereta. Nikmati tiap tetes hujan turun pelan-pelan di kaca bis yang romantis.

Tak usah buru-buru tiba. Apalagi jika akhir perjalanan justru membuatmu resah karena harus berpisah dengan teman perjalanan yang menyenangkan..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *