Sehari Liputan Wajah Bali yang Berlawanan

0 , Permalink 0

Liputan sehari ini memberikan dua warna kontras tentang Bali.

Kami memulai dengan liputan di tempat yoga paling populer di Ubud saat ini, Yoga Barn. Sejak pukul 7 pagi kami sudah di sana. Tidak hanya ngobrol dengan pemilik tempat yoga, tetapi juga melihat bagaimana orang dari berbagai negara berduyun-duyun ke Ubud demi ketenangan jiwa.

Beragam wajah terlihat di sana: China, India, Afrika, Eropa, Australia. Hanya sesekali ada wajah Indonesia selain para pekerjanya.

Ubud sejak semula memang terkenal sebagai tempat mencari ketenangan. Ada yang pernah bilang bahwa Ubud berasal dari kata ubad. Dalam bahasa Bali maupun bahasa Jawa, ubad atau ubat berarti obat. Karena itu tempat ini terkenal pula sebagai pusat beragam obat jiwa maupun raga.

Yoga Barn bisa menjadi contoh sempurna bagaimana orang-orang datang mengobati dirinya, baik ragawi maupun rohani. Sejak membuka praktik pertama pada 2006, empat tahun setelah bom Bali pertama dan setahun setelah bom kedua, tempat ini berkembang cepat.

Saat ini mereka punya tujuh pavilion dengan sekitar 400 tamu per hari. Tarif paling murah untuk sekali ikut kelas yoga Rp 130.000. Paling mahal bisa Rp 2,6 juta per bulan. Itu belum termasuk jualan minuman dan makanan di tempat ini.

Sebagai tempat yoga, Yoga Barn tentu saja menjual ketenangan. Dan memang begitulah suasana di tempat ini. Hijau. Rindang. Asri. Khas Ubud. Apalagi karena kami tiba di sana amat pagi, pukul 7. Udara amat segar. Matahari hangat sekali.

Namun, kehangatan pemiliknya melebihi itu semua. Kadek Gunarta, pemilik Yoga Barn, warga lokal yang menikah dengan perempuan Amerika Serikat, amat antusias ketika bercerita. Ramah dan hangat. Sepanjang ngobrol, dia selalu tersenyum.

Bli Kadek bercerita filosofi tentang Ubud, Yoga, dan tentu saja Bali. Bagaimana dia membangun tempat yoga ini setelah dua kali bom menghancurkan bisnis kerajinannya. Bagaimana Ubud harus bangkit setelah terpuruk akibat kolapsnya pariwisata.

Bagi Bli Kadek, yoga adalah jawaban terhadap pariwisata massal yang kian merusak Bali. “Karena lebih sedikit dampak negatifnya sekaligus menawarkan kesehatan bagi jiwa,” katanya.

Tentu saja, dia juga berbicara tentang filosofi yang amat mudah ditemukan dalam pembicaraan di Bali, Tri Hita Karana. Bagaimana orang Hindu Bali mempertimbangkan keharmonisan hubungan dengan tiga hal: Tuhan (parahyangan), manusia (pawongan), dan alam (palemahan).

Sekitar 1,5 jam di Yoga Barn, terasa sekali bagaimana filosofi itu tak sekadar jargon, tetapi juga dipraktikkan. Namun, tentu saja ada harganya di sana. Apalagi jika tamunya jauh-jauh, bahkan ada yang dari Afrika Selatan.

Selesai wawancara, memotret, dan menikmati damainya hidup bersama para yogis, kami menuju tempat lain. Aku dan dua jurnalis dari media Australia itu ketemu warga negara mereka yang telah puluhan tahun tinggal di Bali dan kini menjadi sosok penting di desa internasional tersebut, Janet DeNeefe.

Janet adalah pendiri festival penulis dan pembaca buku populer di Bali, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF). Dia juga yang menggagas pesta kuliner Ubud Food Festival (UFF). Dua festival tahunan ini memberi wajah baru pada Ubud sebagai sebuah tujuan pariwisata.

Wawancara di rumah Janet amat menyenangkan dan… mengenyangkan!

Kami disambut menu khas Bali, nasi bira. Ini nasi kuning yang disajikan setelah hari raya di Bali, termasuk Hari Saraswati. Kebetulan kami datang sehari setelah perayaan hari raya turunnya ilmu pengetahuan tersebut. Di meja makan ada nasi kuning, bebek betutu, sayur pare dan terong kecil, kuah garangasem timun, serundeng, sambal goreng Bali, dan ikan asin goreng kriuk ala Bali yang amat khas, gerang.

Janet pintar sekali menjelaskan filosofi semua makanan itu dari perspektif Bali. Suaminya yang orang Bali juga melengkapi dengan semua kekayaan budaya Bali yang amat indah. Adi luhung.

Kami kenyang lahir dan batin. Lengkap sekali rasanya liputan tentang pariwisata di Bali ini. Bali yang indah. Moi. Adiluhung. Sampai kemudian kami tiba pada lokasi liputan selanjutnya, Dusun Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar.

Dari awal, aku memang mengajak dua jurnalis Australia ini Selasih. Dusun ini sedang bergejolak karena menolak rencana pembangunan resor dan lapangan golf di desa mereka. Biar mereka bisa melihat sisi lain pariwisata Bali.

Kami tiba di Selasih, berjarak sekitar 30 menit perjalanan dari Ubud, sekitar pukul 11 pagi. Kami bertemu petani-petani setempat. Ngobrol tentang bagaimana rencana pembangunan resor itu akan mematikan mata pencaharian mereka.

Investor bernama PT Ubud Resort Duta Development akan membangun resor dan lapangan golf di dusun ini. Mereka sudah membeli tanah seluas 200 hektare itu dari Puri Payangan pada tahun 1993. Setelah sekian lama menganggur, mereka ingin melanjutkan ide lama itu.

Petani menolak rencana itu. Sebelumnya, aku sudah pernah ke sini mengikuti mediasi antara petani dan investor yang berakhir buntu. Sampai kemudian investor dengan kawalan polisi kembali ke desa itu bersama eksavator untuk memulai proyek. Petani-petani perempuan di sana dengan heroik menghadang laju eksavator itu.

Tak banyak sisa-sisa perlawanan itu ketika kami tiba. Petani bercerita dengan lancar. Kami lalu ke lahan mereka yang pisang-pisangnya telah ditebang. Jejeran gunung di sisi barat menghadirkan pemandangan indah sebagai latar belakang lahan dengan pohon-pohon pisang yang telah diratakan.

Keindahan yang menyimpan kelu.

Ketika kami sedang asyik memotret petani yang menolak, datanglah tiga orang. Dua berpakaian preman. Satu berkaos polisi. Mereka melarang kami memotret. Alasannya, tanah tersebut adalah properti pribadi. Aku ngotot karena tidak berada di lahan yang telah dikosongkan. Kami di jalan raya beraspal.

Kami berdebat sekitar lima menit. Petani narasumber kami sampai bergetar menahan amarah saat berbicara bahwa dia punya hak atas tempat tersebut.

Pada akhirnya kami memilih untuk pergi. Tidak ada gunanya juga ngotot tetap motret di sana. Toh, kami sudah dapat informasi yang kami inginkan. Kami juga tak ingin sampai terjadi bentrok fisik.

Kami lalu pergi dari kebun yang disengketakan. Mengantarkan petani ke rumahnya. Melanjutkan perjalanan ke Ubud.

Lalu, kami berhenti di Ceking, lokasi sawah berundak nan indah di sisi lain Ubud. Meneguk sebotol bir. Menikmati indahnya sawah. Berpura-pura bahwa begitulah memang adanya Bali. Indah semua. Damai. Tanpa sengketa. Semua bahagia..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *