Tatapan nanar perempuan muda itu kembali terbayang-bayang.
Wajahnya tertutup balaklava hitam, topeng yang hanya menyisakan lubang di mata dan mulutnya. Mata itu terlihat nanar. Tatapan mata kosong tak berdaya. Bibir terkatup.
Kedua tangannya dipegang dua polisi wanita di kiri dan kanan. Di sekitarnya, masih ada belasan polisi berseragam cokelat ataupun pakaian preman. Di depannya, para wartawan, termasuk aku, menyambut perempuan berusia 20an itu dengan jepretan kamera. Mirip kucing menemukan ikan asin.
Pakaian terusan berwarna oranye terang dengan nomor 23 di dada kiri perempuan itu menunjukkan statusnya sebagai tahanan. Sekitar seminggu sebelumnya, perempuan itu memang ditangkap polisi karena pilihan yang mungkin terbaik baginya, aborsi.
Pada siang awal Agustus lalu itu, polisi menunjukkan perempuan muda tersebut ke media dalam jumpa pers. Lengkap dengan kronologi dan ancaman penjara yang mungkin dia terima. Aku di sana hanya kebetulan. Sebenarnya aku sedang mengejar kepala polisi untuk kasus lain, tetapi kemudian mendapati kasus itu. Sekaligus melihat bagaimana tidak adilnya polisi dan jurnalis memperlakukan si perempuan muda itu.
Perempuan itu masih mahasiswa. Belum menikah. Dia ditangkap setelah menggugurkan bayinya. Karena pacarnya tidak mau bertanggung jawab, bagi perempuan itu, aborsi mungkin jadi pilihan terbaiknya. Namun, tidak bagi polisi dan jurnalis.
Aku tidak melihat bagaimana kemudian media memberitakannya, tetapi melihat suasana jumpa pers pagi itu pun sudah membuat miris. Tidak tega melihatnya. Tragis sekali nasib perempuan muda itu. Menurutku dia tidak sepenuhnya bersalah. Bagi dia, aborsi mungkin pilihan terbaik ketika dia hamil sementara pacarnya tidak mau bertanggung jawab.
Namun, tidak bagi polisi. Begitu pula mungkin bagi media. Perempuan itu tetap bersalah meskipun dia adalah korban pacarnya yang tidak mau bertanggung jawab.
Ingatan tentang perempuan muda itu kembali datang ketika hari ini kami berdiskusi tentang gender bersama mahasiswa George Mason University (GMU) Virginia, Amerika Serikat. Lima mahasiswi itu sedang studi gender di Jawa dan Bali. Salah satunya ke BaleBengong. Kami berdiskusi antara lain bagaimana media memotret isu gender.
Dan, cara media memperlakukan mahasiswi yang menggugurkan kandungannya itu mungkin salah satu contoh bagaimana media memotret isu gender, terutama perempuan. Perempuan lebih sering pada posisi dipersalahkan sebagai objek.
Dalam kasus aborsi semacam itu, jarang sekali media mengangkat lebih jauh, di mana peran laki-laki yang menghamili perempuan itu. Apalagi sampai membongkar relasi kuasa dalam kasus aborsi semacam itu. Hanya perempuan sebagai objeknya.
Objektifikasi adalah salah satu contoh bagaimana media memperlakukan perempuan. Bagi media, sekali lagi aku pun bagian di dalamnya, perempuan hanyalah semata objek.
Aku tidak tahu bagaimana hukum formal mengatur aborsi semacam itu. Namun, laki-laki yang menghamili dan tidak mau bertanggung jawab tentu layak dituntut. Dia turut membunuh si bayi, baik langsung ataupun tidak. Nyatanya, toh dalam jumpa pers itu, misalnya, si laki-laki sama sekali tak disebut.
Dia dianggap tidak pernah menjadi bagian dari penyebab. Bebas melakukan lalu lenyap. Berbeda dengan perempuan yang menggugurkan kandungan itu.
Kebiasaan media menyalahkan perempuan semacam itu, menurutku juga terjadi karena labelisasi. Perempuan seringkali dipersoalkan status gendernya ketika melakukan aksi-aksi yang selama ini identik dengan laki-laki.
Di Bali, sebagai contoh, pada November 2019 lalu ada penolakan terhadap eksavator yang akan membangun resor di kebun pisang produktif yang masih dikelola petani. Status tanah lokasi proyek itu dalam “sengketa”. Investor sudah membeli dari pihak puri setempat, sedangkan petani merasa punya hak karena sudah turun temurun menggarapnya.
Ketika investor akan membangun, para petani menolak rencana itu. Petan-petani perempuan berada di barisan depan. Mereka menghadang eksavator di tengah jalan dengan membuka baju. Foto-foto yang beredar memerlihatkan mereka hanya mengenakan kutang sebagai atasan. Begitulah petani-petani perempuan itu menunjukkan perlawanan.
Toh, bagi sebagian orang, model perlawanan itu tetap dianggap salah hanya karena perempuan yang melakukan. Bagi sebagian orang, termasuk jurnalis, tubuh perempuan tidak boleh dipertontonkan dengan tujuan apapun, meskipun untuk melawan.
Namun, dari sudut pandang keadilan gender, objektifikasi dan labelisasi semacam itu tak hanya terjadi kepada perempuan. Kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender menghadapi masalah lebih kompleks.
Leave a Reply