Sekadar catatan biar tak begitu saja terlupakan.
Tentang kegiatan keren tiga hari bernama Jagongan Media Rakyat (JMR) yang mengumpulkan berbagai kekuatan dan pengalaman warga.
Pengantar
JMR merupakan agenda dua tahunan Combine Resource Institution (CRI), organisasi non-pemerintah di Yogyakarta yang fokus pada penguatan kapasitas komunitas termasuk dalam pengembangan sistem informasi. CRI mengadakan JMR sejak 2010 yang diikuti komunitas warga dari Jawa, Bali, Lombok, dan daerah lain.
Tahun ini JMR mengangkat tema Gaya Warga Berdaya, merujuk pada maraknya media komunitas, penciptaan teknologi tepat guna, inovasi hukum yang memungkinkan warga bisa mendapatkan akses sumber daya lebih luas, dan gerakan-gerakan rakyat lain untuk merebut hak-hak yang terampas.
Kemandirian warga ini termasuk di dalamnya adalah dalam hal pengelolaan media-media komunitas, baik daring (online) maupun luring (offline), baik media digital maupun non-digital. Selama JMR 2018, para pelaku dan penggerak kemandirian warga itu melakukan pameran, diskusi, pelatihan, ataupun sekadar belajar dari pengalaman lain.
Secara tema, ada empat tema yang dibagi dalam empat kampung yaitu Kampung Media, Kampung Keadilan, Kampung Pangan, dan Kampung Tekno. Tiap nama kampung mengacu pada fokus masing-masing komunitas warga yang ikut serta di JMR 2018. Isu advokasi organisasi non-pemerintah atau komunitas warga peserta JMR sangat beragam, termasuk hak atas sumber daya, lingkungan, perpustakaan jalanan, teknologi tepat guna, literasi media, dan komunitas difabel.
Seiring mencuatnya tantangan di media-media digital, isu keamanan digital pun menjadi salah satu fokus JMR tahun ini. Selain hadirnya komunitas-komunitas rakyat di bidang literasi digital, JMR juga juga mengadakan sesi-sesi khusus tentang keamanan digital maupun literasi media dalam kegiatan yang berlangsung di Yogyakarta pada 8-10 Maret 2018 lalu.
Keikutsertaan saya di JMR tahun ini pun fokus pada isu keamanan digital dan literasi media mewakili media jurnalisme warga BaleBengong, di mana saya menjadi salah satu kontributor dan editor, serta Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet) di mana saya menjadi salah satu relawan. BaleBengong berada di Kampung Media sedangkan SAFEnet berada di Kampung Tekno.
Kegiatan
Ada tiga kegiatan utama yang saya ikuti selama di JMR 2018.
1. Diskusi tentang literasi media
Diskusi bertema Mawas Diri di Tengah Tsunami Informasi ini diadakan BaleBengong. Saya memandu diskusi dengan pembicara Putu Hendra Brawijaya (BaleBengong), Imung Yuniardi (CRI), dan Syam Terrajana (Himpunan Media Alternatif Nusantara – HUMAN).
Diskusi diadakan pada Kamis, 8 Maret 2018 pukul 15.30 – 17.30 WIB. Peserta diskusi sekitar 25 orang terutama dari kalangan pegiat media komunitas.
Garis besar diskusi di KampungMedia ini adalah tentang maraknya informasi palsu di Internet saat ini. Untuk itu, media komunitas perlu tidak hanya mendidik warga tentang media tetapi juga melatih warga untuk memproduksi informasi itu sendiri.
Maraknya informasi-informasi palsu selain karena kurangnya pengetahuan tentang media di kalangan warga juga karena memang ada yang memanfaatkannya untuk tujuan bisnis, politik, maupun percobaan sosial. Hadirnya media komunitas, sebagaimana media-media anggota HUMAN, berusaha untuk memberikan informasi alternatif kepada publik tanpa harus mendewakan jumlah kunjungan (traffic).
Literasi media kepada warga sangat penting agar warga tidak hanya bisa mengidentifikasi mana berita faktual mana palsu tetapi juga agar warga bisa memproduksi informasi itu sendiri. Makin banyak warga bisa memproduksi informasi, makin banyak informasi yang berkualitas akan tersebar di media daring.
2. Diskusi tentang keamanan digital
Diskusi bertema Politik Data: Kenapa Data Begitu Penting? diadakan pada Jumat, 9 Maret 2018 oleh SAFEnet. Saya memandu diskusi dua jam di pagi hari ini (09.30-11.30 WIB) dengan pembicara Heru Tjatur (praktisi teknologi informasi) dan Kathleen Azali (C2O library and collabtive).
Peserta diskusi di Kampung Tekno ini sekitar 30 orang dari beragam latar belakang.
Menurut Tjatur pengguna media sosial saat ini senang mengeksploitasi data pribadinya tanpa sadar bahwa data-data tersebut menjadi ladang bisnis baru bagi para perusahaan digital. Data pribadi yang terlalu banyak disebar di dunia maya juga rentan dimanfaatkan para pelaku kejahatan.
Parahnya, Indonesia belum memiliki aturan yang komprehensif untuk melindungi data warganya.
Kathleen kemudian menjelaskan prinsip dasar tentang strategi perlindungan data bagi pengguna Internet. Manusia sebagai pengguna menjadi faktor penting di balik semua sistem teknologi dan prosedur keamanan. Keamanan digital tidaklah semata isu untuk para ahli teknologi informasi tetapi juga pengguna biasa.
Beberapa hal yang bisa kita lakukan adalah dengan memeriksa data pribadi sendiri yang beredar di Internet, mengatur keamanan dan privasi perangkat, menggunakan perambah berbeda-beda, memperkuat password, dan mengaktifkan pengamanan berlapis.
Pada siang hari, ada sesi lebih teknis yang diselenggarakan Engage Media, C2O, dan CRI.
3. Pelatihan tentang keamanan digital untuk perempuan
Pelatihan keamanan digital untuk perempuan diadakan oleh CRI pada Sabtu, 10 Maret 2018 selama sekitar empat jam pada pukul 9.00 – 13.00 WIB. Saya menjadi salah satu fasilitator bersama tiga fasilitator lain yaitu Idha Saraswati (CRI), Irman Ariadi (CRI), dan Kathleen Azali (C2O).
Peserta lokakarya sekitar 40 perempuan, sebagian besar ibu rumah tangga yang juga aktif menggunakan media sosial. Mereka berasal dari PKK atau kelompok perempuan lainnya.
Pelatihan berjalan partisipatif di mana peserta membagi pengalamannya menggunakan ponsel, Internet, dan media sosial. Ada ibu-ibu yang juga pernah menjadi korban karena identitas dia dan anaknya digunakan orang lain di Internet. Namun, dia belum mendapat kerugian material dari kasus tersebut.
Peserta belajar tentang konsep privasi dan keamanan digital melalui simulasi singkat. Dari teori, peserta kemudian menerapkannya pada ponsel yang mereka gunakan sehari-hari serta pengaturan privasi dan keamanan digital akun media sosial, terutama Facebook dan YouTube, dua aplikasi yang paling banyak digunakan.
Karena bersifat praktis, maka pelatihannya menjadi semacam klinik singkat di mana para peserta juga bisa langsung berkonsultasi tentang masalah-masalah yang mereka alami saat menggunakan ponsel dan media sosial, terutama dari sisi keamanan digital dan privasi.
Selain tiga kegiatan utama di atas, saya juga berdiskusi tentang keamanan digital dengan jurnalis anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta pada Jumat, 9 Maret 2018 malam di sekretariat AJI Yogyakarta. Diskusi selama sekitar dua jam itu diikuti lima anggota AJI Yogyakarta.
Pembelajaran
Selama mengikuti JMR 2018, ada beberapa refleksi sebagai pembelajaran bagi saya pribadi.
Pertama, forum semacam JMR bisa menjadi ruang pertukaran pengalaman sekaligus pembelajaran bagi sesama komunitas warga dan organisasi rakyat. Proses ini bisa terjadi karena adanya sesi-sesi khusus, seperti diskusi dan pelatihan dengan narasumber dari organisasi-organisasi berbeda. Dalam diskusi-diskusi kecil itu terjadi pertukaran pendapat dan pengalaman yang saling memperkaya.
Kedua, perlunya kolaborasi lintas-isu di antara sesama organisasi rakyat atau komunitas warga. Mereka yang bergerak di isu reforma agraria, misalnya, perlu juga belajar tentang media dan teknologi sehingga bisa mempermudah dalam advokasi, terutama kampanye. Begitu pula mereka yang bergerak di isu literasi media juga perlu memahami isu tentang lingkungan, misalnya, agar bisa menjadi amunisi dalam gerakannya. Setiap isu advokasi saling terkait dan seharusnya bisa saling mendukung.
Ketiga, isu keamanan digital belum terlalu menjadi perhatian bagi komunitas-komunitas warga, termasuk para aktivis. Padahal, isu ini amat relevan dan penting bagi mereka. Tanpa pengetahuan dan kemampuan teknis sederhana di bidang keamanan digital dan privasi, para aktivis menjadi lebih rentan menjadi korban pengintaian atau penyerangan secara daring.
Keempat, dibandingkan laki-laki, perempuan lebih rentan menjadi korban kejahatan di dunia maya. Selain melalui modus pencurian identitas untuk digunakan pengguna lain dengan tujuan penipuan, perempuan juga rentan menjadi korban perundungan (bullying) ataupun kriminalisasi. Hal ini sebagaimana dikatakan beberapa peserta pelatihan keamanan digital.
Parahnya, perempuan justru kurang mendapatkan akses dalam literasi keamanan digital ataupun privasi. Perempuan lebih disibukkan oleh pekerjaan domestik dibandingkan laki-laki akibat masih kerasnya budaya patriarki di Indonesia. Isu teknologi informasi masih sangat maskulin.
Kelima, untuk itulah literasi tentang Internet, keamanan digital, dan privasi untuk warga perlu lebih sering diadakan. Selain melalui diskusi-diskusi untuk meningkat kesadaran juga perlu ada kelas-kelas pelatihan intensif, terutama untuk kelompok rentan seperti aktivis dan perempuan, agar mereka bisa lebih berdaya menjaga kedaulatan data pribadi maupun keamanannya di dunia daring.
Leave a Reply