Sambil duduk di kursi roda, I Wayan Karmen melakukan wawancara.
Tubuh ringkih Karmen berbanding terbalik dengan kuatnya narasumber, Ni Nengah Widiasih. Karmen anak laki-laki berusia 12 tahun. Sejak umur 6 tahun dia mengalami semacam penyakit yang membuat kedua tulang kakinya lumpuh. Karena itu, Karmen harus berjalan dengan kursi roda.
Adapun Widiasih berumur sekitar 33 tahun. Meskipun salah satu kakinya kena polio, dan juga harus berjalan dengan kursi roda, Widiasih adalah atlet angkat berat di Yayasan Senang Hati, tempat di mana Karmen juga tinggal.
Sebagai atlet angkat berat, tiap hari Widiasih berlatih. Maka, otot lengannya terlihat penuh. Perkasa. Lebih besar dibandingkan paha Karmen.
Minggu awal Maret lalu, Karmen mewawancarai Widiasih. Karmen sedang melakukan praktik sebagai peserta Kelas Jurnalisme Warga. Karmen bertanya kepada Widiasih dalam bahasa Indonesia, “Sebagai difabel, bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang melakukan stigma?”
Widiasih, juga sambil duduk di kursi, telrihat bingung. Dia balik bertanya dalam bahasa Bali, “Ken-ken tuh maksudne?”
Karmen yang sedang bertanya sambil bersiap mencatat, berusaha menjelaskan kembali pertanyaannya. Namun yang ditanya masih saja bingung. Dengan bantuan difabel lain, akhirnya wawancara itu pun berlangsung selama sekitar 30 menit.
Proses wawancara oleh Karmen terhadap Widiasih ini, menurutku, salah satu momen menyentuh di pelatihan kali ini, melihat bagaimana sesama difabel saling wawancara untuk kemudian diceritakan melalui jurnalisme warga.
Usai wawancara di tempat latihan angkat berat tersebut, Karmen segera ke ruang kelas. Karmen yang masih sekolah SD segera menuliskan hasil wawancaranya dalam sebuah artikel berjudul Perempuan Difabel Yang Dapat Meraih Prestasi.
Beginilah paragraf pertama tulisan Karmen tersebut. Nengah Widiasih adalah perempuan difabel yang menggunakan korsi roda. Namun, ia dapat meraih prestasi di bidang olahraga. Nengah Widiasih tinggal di Yayasan Senang Hati yang berada di Tampaksiring, Gianyar, Bali.
Begitulah Karmen melakukan praktik kelas jurnalisme warga.
Selain Karmen, sebelas peserta lain pun melakukan hal sama, praktik menulis setelah mendapatkan materi teori dan teknik menulis. Selesai wawancara, mereka semua menuliskan artikel tersebut di ruangan. Separuh di antara 12 peserta tersebut adalah difabel, terutama tuna daksa. Mereka suntuk menulis di laptop masing-masing didampingi fasilitator.
Rutin
Kelas Jurnalisme Warga merupakan program rutin Sloka Institute. Sejak 2010 lalu, lembaga swadaya masyarakat di Bali yang juga mengelola blog jurnalisme warga BaleBengong.net ini mengadakan pelatihan rutin dua bulan sekali. Ide pelatihan ini sederhana. Setelah selama ini menyediakan ruang berupa blog www.BaleBengong.net, kami merasa masih banyak warga menghadapi tantangan tersendiri untuk memproduksi informasi sebagai pewarta warga.
Karena itulah kami memberikan pelatihan jurnalisme warga. Materinya selain teori dasar jurnalisme juga ada tentang jurnalisme warga dan blog.
Kelas kali ini merupakan angkatan ke-16. Angkatan kali ini agak berbeda dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Jika sebelumnya, pelatihan menyasar ke komunitas-komunitas, maka pelatihan kali ini dengan metode live in, tinggal di tempat pelatihan.
Dalam pelatihan ini, misalnya, enam peserta warga umum, antara lain pekerja teknologi informasi, staf kantor pajak, serta pegawai bank, tinggal dua hari di lokasi pelatihan, yayasan difabel. Mereka menginap satu malam bersama difabel di Yayasan Senang Hati Tampaksiring, sekitar 1 jam perjalanan dari Denpasar.
Dengan cara itu, kami berharap para peserta akan lebih belajar tentang dunia berbeda dari yang selama ini mereka hadapi sehari-hari. Sebagai contoh, mereka yang non-difabel, biar bisa mengalami sendiri tinggal meskipun hanya satu malam dengan difabel. Lebih dari itu, mereka juga bisa memahami pikiran dan perasaan difabel lewat interaksi tersebut.
“Ternyata saya selama ini salah menganggap mereka lemah. Difabel ternyata bahkan bisa berprestasi lebih dibanding non-difabel,” kata Dewa Made Cakrabuana Aristokra, salah satu peserta.
Karena itulah, kelas jurnalisme warga kali ini tak hanya soal belajar bagaimana memahami dan mempraktikkan jurnalisme warga tapi juga tentang bagaimana memahami kehidupan kelompok yang selama ini dianggap berbeda.
Di sisi lain, dengan cara ini, kami pun ingin mengajak kepada para difabel, bahwa banyak cerita menarik tentang mereka yang layak untuk disebarluaskan, termasuk melalui jurnalisme warga.
Karmen, Widiasih, dan difabel lain di Yayasan Senang Hati antusias menyambut ajakan ini. Mereka pun seperti berlomba-lomba bercerita lewat tulisan masing-masing. Tentang hidup mereka sehari, tentang prestasi mereka selama ini.
Leave a Reply