Topik diskusi kemarin sebenarnya tentang film Samin vs Semen.
Film dokumenter karya WatchDoc ini mengisahkan perlawanan komunitas Samin di Pati, Jawa Tengah terhadap pembangunan pabrik semen di desanya.
Namun, diskusi ternyata kemudian tiba juga pada topik tak berdayanya warga Bali melawan pariwisata.
Samin vs Semen dibuat duo jurnalis sekaligus petualang, Dandhy Laksono dan Ucok Suparta. Mereka sedang melakukan ekspedisi Indonesia Biru, keliling Indonesia sambil merekam kearifan-kearifan lokal selama perjalanan.
Mereka mampir juga di Bali. Menginap di rumah kami selama di sini.
Mumpung di Bali, kami pun todong mereka. Selain membuat dokumenter tentang gerakan tolak reklamasi Teluk Benoa, yang sebenarnya juga sudah jadi rencana mereka sejak awal, juga diskusi dan pelatihan.
Kemarin, agendanya nonton bareng film mereka Samin vs Semen. Nobar ini di Kumpul Coworking Space, Sanur. Ada 30an orang yang ikut dan ngobrol setelahnya.
Secara singkat, Samin vs Semen menceritakan perjuangan petani di Pati dan Rembang, Jawa Tengah. Mereka menolak rencana pembangunan pabrik semen oleh PT Indocement Group dan PT Semen Gresik. Pabrik semen akan mengancam sumber kehidupan mereka sebagai petani.
Samin, komunitas warga penganut gerakan Samin. Komunitas ini lahir sejak zaman kolonial. Mereka menolak membayar pajak. Memboikot dengan cara diam. Serupa upaya Mahatma Gandhi, sebenarnya.
Kini, perlawanan itu dilakukan warga Samin terhadap pabrik semen. Lalu, orang-orang Samin pun menularkannya kepada warga desa-desa lain yang akan jadi tempat pembangunan pabrik semen.
Hal menarik dari cerita perlawanan Samin adalah betapa perjuangan tersebut memang datang dari akar rumput. Mereka yang melawan bukanlah warga kelas menengah tapi petani, ibu-ibu, dan orang-orang desa. Benar-benar dari akar rumput.
Bisa jadi karena kesadaran kolektif untuk melawan itu sudah muncul ratusan tahun silam. Samin sudah lahir sejak zaman kolonial. Jika dulu melawan para penjajah, sekarang melawan negara.
Setelah berkaca dari Samin mari melihat ke Bali. Bagaimana perlawanan di sini terhadap investasi. Bali mencatat sejarah beberapa perlawanan terhadap investasi. Namun, lebih banyak lagi cerita sedih di mana warga lokal tak bisa melawan. Seolah-olah tak berdaya.
Agung Widi, teman dari Kalimajari, bercerita. Tentang para petani rumput laut di Pantai Sawangan, Nusa Dua. Pantai yang kini bernama Pandawa itu dulunya tempat para petani rumput laut.
Namun, kata Widi, kini para nelayan rumput laut itu sudah tidak ada lagi. Mereka tak bisa bercocok tanam karena laut tempat mereka menanam kini sudah berganti jadi tempat wisata. Begitu menanam rumput laut, langsung rusak karena ada orang main kano.
Saya jadi ingat ketika ke sana sekitar tiga tahun lalu. Waktu itu masih ada petani rumput laut memanen. Namun, terakhir ke sana tahun lalu, para petani itu sudah tidak ada lagi.
Widi benar. Para petani rumput laut di Sawangan itu tak berdaya. Mereka tak punya kekuatan melawan seperti para petani di Rembang dan Pati sana.
Leave a Reply