Tak Mudah Menjadi Waria, Apalagi karena Corona

0 , Permalink 0

Tiap masa selalu terasa sulit bagi sebagian besar waria.

Sejak memilih identitas gendernya yang dianggap abu-abu, waria harus menghadapi dunia yang serba kaku. Bagi banyak orang, waria adalah tabu. Tidak mungkin ada dunia di antara. Hanya ada laki-laki atau perempuan. Di antara itu adalah dosa.

Standar moral arus utama yang disematkan kepada waria, membuat mereka dibuang dari kehidupan yang wajar. Diusir oleh keluarga. Dikeluarkan dari sekolah. Diasingkan oleh sesama manusia.

Tanpa status sosial yang setara, hidup tidak pernah mudah bagi waria. Tanpa pengakuan terhadap keberadaan mereka, waria tak bisa serta merta memperoleh hak-hak serupa warga pada umumnya, terutama pendidikan dan pekerjaan. Pilihannya kemudian banyak yang menjual diri.

Sebatas yang pernah aku tahu selama lebih dari 15 tahun akrab dengan mereka terutama di Bali, tidak ada waria yang tidak menjajakan layanan seks sebagai bagian dari sumber kehidupan mereka.

Kini, ketika COVID-19 menjadi pandemi di hampir seluruh Bumi, kehidupan mereka jauh lebih sulit dari yang pernah mereka alami. Setidaknya begitulah cerita teman-teman waria yang secara kebetulan aku temui dua minggu terakhir di Bali.

Sebenarnya, pertemuan dengan teman-teman waria ini untuk sebuah pekerjaan yang lain. Kami sedang menulis kisah teman-teman minoritas: gay, mantan pengguna heroin, orang dengan HIV AIDS (ODHA), pekerja seks, dan waria. Namun, cerita waria selalu terasa lebih dramatis. Begitu pula kali ini, di tengah gempuran pandemi.

Waria-waria ini banyak yang bekerja untuk memberikan layanan seks. Ada yang daring (online), ada pula luring. Mereka yang menjajakan layanan seks lsecara daring ini biasanya menggunakan aplikasi semacam MiChat. Adapun mereka yang menjajakan secara langsung biasanya di dua lokasi paling terkenal di Denpasar, Bung Tomo dan Renon.

Karakter waria di dua lokasi ini berbeda. Di Bung Tomo, biasanya untuk waria yang status sosial dan pendidikannya lebih “rendah”. Tidak pernah sekolah. Baca tulis pun susah. Mereka tergabung dalam Warcan, singkatan dari Waria Cantik.

Di Renon, mereka bergabung dalam wadah Persatuan Waria Renon alias Perwaron. Waria-waria di sini umumnya lebih memiliki akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Ada yang lulusan S1. Malah, aku pernah dengar kalau ada yang lulusan S2 luar negeri meski aku tidak pernah ketemu langsung sama orangnya.

Di luar Denpasar, ada pula komunitas waria yang sangat terkenal adalah Wargas, singkatan dari Waria Singaraja. Mbak Siska, pentolannya, termasuk waria disegani di Bali. Karena karismanya itu pula, sebatas pengetahuan saya, waria di Singaraja termasuk yang paling merdeka di Indonesia. Termasuk untuk berekspresi dan menjajakan layanannya.

Suka Duka

Meski berbeda lokasi dan status sosial, pelanggan mereka kurang lebih sama: anak-anak muda yang ingin melampiaskan berahinya, suami-suami yang tak terpuaskan oleh istrinya, atau sekadar laki-laki yang ingin mencoba fantasi berbeda.

Dalam sekali layanan, waria-waria ini mendapatkan bayaran beragam. Paling besar bisa sampai Rp 300 ribu atau bahkan lebih. Paling rendah Rp 50.000 sekali transaksi. Paling tidak enak? Dibawain balok besi sama pelanggan yang tidak bisa bayar.

“Kami pernah sampai harus merangkak di bawah kawat besi karena dikejar-kejar pelanggan preman yang tidak bisa bayar. Jadi waria tapi kayak tentara saja,” kata salah satu waria. Tawanya lalu lepas setelah bercerita.

Dina, sebut saja begitu namanya, sehari-hari menjajakan diri di Renon. Biasanya, dalam semalam dia bisa mendapatkan Rp 300.000 sampai Rp 500.000. Selain di Renon, dia juga menjual jasa lewat layanan aplikasi. Namun, kini dia tak bisa lagi mendapatkan pengguna jasa.

“Sepi. Gara-gara corona,” kata Selfie, nama samaran waria lainnya.

Meski sudah bekerja di salah satu layanan kesehatan, Selfie biasanya masih memberikan layanan melalui aplikasi. Selain untuk memuaskan hasrat seksual, karena statusnya sekarang tanpa pacar, Selfie juga menjajakan diri untuk mendapatkan tambahan pendapatan.

Makin Susah

Namun, seperti juga Dina, kini tak ada lagi pelanggan yang menggunakan jasa Selfie. Tak ada masukan tambahan yang biasa dia gunakan untuk hidup sehari-hari: makan, bayar kos, dan tentu saja biaya perawatan tubuh, aset penting mereka.

Tanpa pendapatan tambahan, menurut waria-waria itu, hidup jadi makin susah. Apalagi mereka juga hidup sendiri tanpa keluarga. Malah, ada yang menjadi tulang punggung keluarga seperti Kamila, nama samaran lainnya.

Kamila agak berbeda dengan Selfie dan Dina. Dia punya identitas gender “ganda”, laki-laki ketika siang dan perempuan ketika malam. Namanya queer. Berbeda dengan waria yang 24 jam memang tampil seperti perempuan.

Sebagai queer, Kamila bekerja menyanyi tanpa suara (lypsinc) dan menari di dua tempat hiburan di daerah Seminyak dan Kuta. Selain digaji bulanan, dia juga bisa mendapatkan bonus dari layanan seks pada tamu-tamu yang memesannya.

“Sekarang tidak ada sama sekali. Turis sudah pada pergi,” tuturnya.

Nyaris tak ada turis tersisa di Bali saat ini. Tempat-tempat wisata di Bali, terutama Kuta dan Legian, yang biasanya riuh hampir 24 jam, kini serupa kuburan. Lengang. Begitu pula dua tempat Kamila dulu bekerja. Keduanya sudah tutup dan merumahkan karyawannya.

Tanpa pendapatan sebagai queer, Kamila kini harus bertahan menghidup istri dan satu anaknya.

Ketika dunia sedang berperang melawan pandemi COVID-19, orang-orang seperti Selfie, Dina, dan Kamila pun makin terlupa.

Catatan:
Tulisan ini dibuat ketika mengikuti program Klub Menulis BaleBengong dengan tema “(Si)apa yang terlupakan di pandemi ini?”

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *