November 2017. Tumben Mbok Oka Rusmini hadir di agenda BaleBengong.
Ketika itu, kami sedang mengadakan Malam Anugerah Jurnalisme Warga (AJW). Ini agenda kami tiap tahun sejak 2016. Tujuannya mengapresiasi karya-karya di media jurnalisme warga. Malam AJW kami isi dengan makan-makan, diskusi, dan pengumuman penerima AJW.
Mbok Okarus, panggilan akrabnya, datang bersama anak laki-laki semata wayangnya. Aku merasa mendapat kejutan karena wartawan dan sastrawan terkemuka itu mau datang. Lebih senang lagi karena itu dia memberikan hadiah tidak terduga-duga.
βTon, aku mau nulis ya untuk BaleBengong. Kolom rutin ala emak-emak,β kurang lebih begitu dia bilang malam itu.
Alasan Mbok Okarus, dia ingin mencoba bagaimana rasanya menulis di media daring ala anak-anak muda. Juga melanjutkan esai rutinnya yang kini sudah tak lagi diterbitkan di medianya tempat bekerja.
Dua bulan kemudian, datanglah esai pertama dari Mbok Okarus. Esai berjudul Janji itu terbit pada 21 Januari 2018. Setelah itu hampir tiap minggu artikelnya pun terbit di BaleBengong dengan judul Kolom Men Coblong.
Entah kenapa kiriman esai itu berhenti begitu saja akhir tahun lalu. Aku juga tidak berani untuk menanyakan. Sing juari.
Namun, awal tahun ini, kejutan lain datang dari Mbok Oka. Kumpulan esainya itu ternyata akan diterbitkan dalam bentuk buku. Ternyata benar. Kumpulan esai Men Coblong selama setahun itu pun terbit dalam bentuk buku.
Wah, asyiknya..
Mei 2019 lalu Penerbit Grasindo menerbitkan buku Men Coblong bersama kumpulan esai Mbok Okarus lainnya di media daring Tatkala. Judul bukunya Koplak. Jadilah Koplak dan Men Coblong terbit sebagai buku kembar beda kelamin. Men Coblong karakternya perempuan. Emak-emak. Adapun Koplak karakternya laki-laki. Bapak-bapak beranak satu.
Dalam bahasa Bali, kembar beda kelamin ini disebut kembar buncing.
Minggu, 14 Juli 2019 lalu, buku kembar buncing itu diluncurkan. Gak nyangka. Ternyata banyak juga anak muda penggemar karya-karya Mbok Okarus. Buktinya,kursi di Bentara Budaya Bali di mana diskusi diadakan, penuh. Diskusi juga hidup dengan pengakuan dan pertanyaan. Seru.
Lalu, apa yang menarik dari buku Men Coblong?
Men Coblong ini adalah alter-ego dari penulisnya. Oka Rusmini. Ibu paruh baya dengan anak laki-laki abege. Tinggal di kota. Perempuan Bali. Wartawan. Kelas menengah. Maka, segala macam catatan di buku ini adalah semua unek-unek dari perspektif tersebut.
Namanya unek-unek, dia bisa mengomentari isu apapun dari sudut pandang figur Men Coblong tersebut: politik, rumah tangga, pendidikan, lalu lintas, media sosial, sampai urusan parkir. Apa saja bisa dijadikan topik untuk melampiaskan unek-unek.
Sebagai emak-emak, bahasanya pun sederhana. Seperti kebanyakan orang. Tidak pakai bahasa-bahasa aeng ala intelektual genit negeri Indopahit. Men Coblong mewakili emak-emak zaman kiwari.
Ini yang membuatku salut juga. Mbok Oka ini ternyata produktif sekali. Tiap minggu menulis dua esai untuk dua media berbeda, BaleBengong dan Tatkala, pasti memerlukan energi luar biasa. Apalagi menulis esai.
Konsistensi ini kian langka kalau melihat susahnya menemukan penulis esai, apalagi perempuan, di Bali saat ini. Toh, Men Coblong membuktikan dia masih bisa terus melakukannya.
Cuma, ya, ini yang jadi catatan. Karena kumpulan esai, buku setebal 160 halaman ini tidak menawarkan kedalaman. Men Coblong memaksakan diri untuk mengomentari semua hal. Khas kita banget. Tahu sedikit, tetapi sudah berkomentar.
Kekuatan Men Coblong dalam esai-esainya adalah memotret dari orang kebanyakan yang suka skeptis pada banyak hal. Sesekali dia menggugat soal tetangganya yang parkir mobil di depan pintunya. Di kali lain dia menangis membaca ibu-ibu bunuh diri bersama tiga anaknya ketika Bali penuh citra gemerlap.
Men Coblong penuh cita rasa. Ada satire. Ada getir. Banyak pula nyinyir.
Ya, tidak apa-apa juga. Tiap orang kan memang bebas mengomentari apa saja. Seperti yang juga dilakukan tiap orang di media sosialnya masing-masing saat ini.
Men Coblong memang tidak ditujukan sebagai sebuah referensi serius tentang isu tertentu. Dia sekadar kumpulan gugatan tentang beragama isu di Indonesia, Bali, dan kadang-kadang lebih khusus lagi, Denpasar. Maksudnya, buku ini kemudian ya sebatas itu. Tidak usah berharap lebih.
Leave a Reply