Kring. Kring!
Pada suatu waktu, tukang poslah yang mengangkat derajatku. Sudah lama. Sekitar 25 tahun lalu. Dengan sepeda kumbangnya, Pak Pos akan datang ke sekolahku, Perguruan Muhammadiyah di pesisir Lamongan, Jawa Timur.
Lelaki paruh baya, berusia sekitar 45 tahun, itu membawa tas kulit di boncengan belakangnya.
Dia mengayuh sepeda kumbang untuk mengantarkan surat-surat di wilayah dengan kode pos 62263 itu, termasuk sekolahku. Kantor Pos berjarak sekitar 3 km dari sekolahku adalah kantornya.
Begitu masuk di sekolahku, dia akan membunyikan bel sepedanya. Kring kring! Dari ruang kelas atau halaman saat istirahat, aku bisa mendengar bel itu sembari berharap, adakah surat untukku hari ini?
Pak Pos memberikan surat-surat itu di bagian tata usaha (TU). Lalu, oleh staf bagian TU, surat-surat itu akan dipampang di kaca jendela tembus pandang. Posisinya di balik kaca, tetapi tiap orang bisa membaca tulisannya.
Namaku termasuk salah satu yang sering terpampang di sana. Bahkan bisa jadi yang paling sering mendapatkan kiriman surat. Pengirimnya dari kakak-kakak yang saat itu merantau di daerah lain. Kakak Khusni Alhan dan Yuk (almarhum) Khusnul Khotimah di Jakarta. Kakak Husnul Wahid di Malaysia.
Tak hanya mereka. Ada pula teman-teman dari kota sekitar. Ada pula sepupu yang kuliah di Malang saat itu.
Pada masa ketika telepon masih menjadi barang langka, apalagi Internet seperti saat ini, kantor pos adalah penyambung informasi utama. Surat, layaknya pesan ringkas atau surat elektronik saat ini, menjadi media paling utama untuk berbagi kabar.
Pak Pos, layaknya penyedia jasa Internet, menjadi penerus kabar untuk tiba sampai di tujuan. Lalu, surat-surat yang dibawa Pak Pos itulah yang membuatku tidak sekadar diketahui orang lain, tetapi juga bahwa aku memiliki sesuatu yang tak banyak teman-temanku sendiri punya, dunia luar.
Hidup di bawah garis kemiskinan, kakak-kakakku harus merantau. Hidup dalam kemelaratan, tak banyak yang bisa aku banggakan sebagai remaja pada saat itu. Namun, surat-surat itulah yang bisa membuatku merasa terangkat. Aku punya sesuatu yang tak banyak orang lain punya.
Ada rasa bangga ketika membaca nama sendiri sebagai penerima surat-surat itu ketika teman-teman lain hanya bisa memandangnya dengan iri. Lebih dari itu, dari surat-surat yang aku baca itu aku bisa membebaskan diri, menjelajah bersama kabar-kabar yang dia sampaikan.
Dari surat-surat itu aku bisa tahu bagaimana cerita tentang Jakarta dari surat-surat yang ditulis Kak Alhan di Jakarta. Dari surat-surat itu aku seolah mengalami sendiri bagaimana suka duka menjadi buruh migran di negara jiran, Malaysia.
Lebih dari sekadar kabar, surat-surat itu mengajarkanku tentang kehidupan.
Bertukar kabar melalui surat membutuhkan kesabaran. Berbeda dengan pesan ringkas atau surel yang amat cepat, mengirim dan mendapatkan surat lewat pos memerlukan waktu.
Lamanya relatif. Tergantung jarak dan jasa pengiriman. Dari Jakarta ke Lamongan, misalnya, perlu seminggu dengan jasa pengiriman biasa. Dari Malaysia bisa dua kali lipat lamanya. Karena itu, perlu waktu untuk bisa bertukar kabar lewat surat.
Berkirim kabar lewat surat juga memerlukan keahlian. Tidak bisa tiba-tiba menuliskannya begitu saja. Harus memikirkan informasi apa di bagian depan, tengah, dan akhir. Menulis surat adalah juga latihan menulis narasi. Agar ceritanya enak dibaca.
Sesekali, menulis surat adalah juga menyampaikan pendapat. Harus ada argumen disampaikan agar bisa meyakinkan orang. Perlu penjelasan pendukung, bukti, atau referensi untuk memperkuat opini dalam surat.
Entah sadar atau tidak, mungkin itulah yang kemudian membuat kami terbiasa menuliskan cerita dan pendapat. Juga mencatat riwayat.
Surat-surat lewat Pak Pos adalah bagian dari riwayat yang membebaskanku hingga saat ini. Tak lagi hanya terkungkung di satu tempat, terpenjara di satu keyakinan, atau terperangkap dalam duka lara. Surat-surat menjadi pengantar untuk merdeka.
Dua puluh lima tahun berselang, sudah tak ada lagi surat menyurat seperti dulu. Kini, berkirim kabar tak lagi dengan surat melalui pos. Sekarang semua saluran komunkas berganti dengan pesan ringkas seperti WhatsApp. Begitu pula dengan grup silaturahmi teman-teman sekolah dulu.
Bukannya menjadi tempat berbagi kabar dan mendekatkan, grup-grup semacam ini justr digunakan untuk menyebar kebohongan. Dua hari lalu, salah satu isinya masih soal kebohongan terkait Pemilu yang baru saja berlalu.
Satu orang menyebar kebohongan. Anggota-anggota lain merayakan dengan tepuk tangan. Aku yang kasihan. Teman-teman yang dulu memiliki begitu banyak kemewahan justru sekarang terjebak dalam penjara kebencian.
*Tulisan dibuat dari kelas 2×2 yang bertema “surat”.
Leave a Reply