Awalnya layanan PT Kereta Api Indonesia (KAI) terlihat sangat meyakinkan.
Bahkan sejak pembelian tiket pun sudah terasa peningkatan kualitas layanan tersebut. Biasanya, pembelian hanya bisa dilakukan secara langsung. Kali ini sudah bisa lewat website, termasuk pembayarannya.
Begitu pula ketika saya membeli tiket untuk kembali ke Denpasar setelah mudik lebaran kali ini. Melalui website, saya bisa melihat apakah kursinya masih tersedia, kursi mana saja, dan berapa harganya.
Namun, agar bisa bertanya-tanya langsung ke petugas, saya tetap beli secara langsung ke kantor PT KAI di Denpasar. Petugasnya melayani dengan bagus.
Saya makin yakin bahwa PT KAI memang berubah ke arah lebih baik. Tak hanya seperti yang saya baca di media massa.
Layanan yang meyakinkan pun terasa ketika saya check in di Stasiun Gubeng, Surabaya dua hari lalu. Sangat jauh berbeda dibandingkan terakhir kali saya naik kereta sekitar empat tahun lalu di Bandung untuk jurusan Jakarta.
Kali ini, semua penumpang harus check in dulu layaknya mau naik pesawat. Penumpang bisa cetak sendiri karcisnya ketika di stasiun. Cukup dengan memasukkan kode pemesanan tiket di komputer dengan layar sentuh, nama penumpang akan muncul.
Saya bisa print sendiri karcis tersebut termasuk untuk anak istri saya. Benar-benar pelayanan yang keren dari PT KAI. Canggih dan memudahkan sekali.
Begitu masuk gerbong kelas bisnis, saya juga bisa merasakan hal baru seperti gerbong yang ber-AC dan (aha!) colokan di tiap deret kursi. PT KAI sepertinya makin memanjakan penggunanya.
Namun, kualitas layanan tersebut langsung menurun tajam ketika kami sudah duduk kursi kereta api. Tetap memprihatinkan. Harapan saya terlalu tinggi untuk bisa mendapatkan layanan mengesankan dari PT KAI.
Setidaknya begitulah pengalaman saya naik kereta api Mutiara Timur jurusan Surabaya – Denpasar (lewat Banyuwangi) kali ini.
Pertama, tempat duduk. Kami memilih empat kursi berdekatan yaitu 2C, 2D, 3C, dan 3D. Ketika melihat foto kursinya di website, saya lihat kualitas kursi itu bagus dan empuk. Sayangnya tidak.
Saya tertipu harapan sendiri.
Kursi ini rusak. Robek di beberapa bagian kulitnya. Parahnya lagi keras dan berdecit ketika diduduki. Terasa seperti per yang rusak sehingga tak nyaman diduduki selama perjalanan.
Kedua, pintu antar-gerbong. Lokasi duduk kami persis sebelum pintu antar-gerbong ini. Pintu ini dibuka tutup dengan cara geser. Karena kelas bisnis pakai AC, maka pintu harus tertutup. Namun, tiap kali ada orang membuka tutup pintu tersebut, suaranya sangat mengganggu.
Kreeeek. Kreeeek. Mirip besi tua karatan yang dipaksa berjalan di atas lantai. Suaranya sangat tidak nyaman. Parahnya suara itu terus terdengar tiap kali ada orang membuka dan menutup pintu.
Layanan paling mengenaskan terjadi ketika kami naik bus penyambung dari Banyuwangi ke Denpasar. Bus milik PT KAI ini bagian dari layanan untuk penumpang dari Banyuwangi ke Denpasar karena kereta memang berhenti di stasiun terakhir di Ketapang, Banyuwangi.
Saya pikir dengan manajemen baru plus mahalnya harga tiket, Rp 255 ribu per orang, PT KAI akan sediakan bus yang lebih nyaman, besar, dan baru. Ternyata tidak. Bus yang disediakan masih mini bus lama dengan kursi yang berdesakan.
Dalam perjalanan dari Banyuwangi menyeberangan ke Gilimanuk, sekitar 10 penumpang harus berdiri berdesak-desakan di dalam bus ini. Masak begini layanan profesional di bawah manajemen baru PT KAI saat ini?
Jauh sekali dari kata nyaman.
Tiga hal itu meninggalkan kesan bahwa layanan PT KAI memang masih jauh dari menyenangkan. Semoga ketika naik kereta lagi, saya bisa mendapatkan layanan yang lebih profesional dan nyaman. Kami tunggu ya, PT KAI.
Leave a Reply