Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya deretan mobil.
Serupa ruang pamer alias show room. Tak hanya di tempat parkir, mobil-mobil itu juga memenuhi pinggir jalan di depan kampus Universitas Udayana (Unud) Jl Sudirman, Denpasar.
Pemandangan itu selalu menyambut saya tiap kali main ke Kampus Unud di Sudirman. Kampus ini juga disebut Kampus Palma karena banyaknya pohom palem di sini. Sayangnya, pohon-pohon palma itu kini kalah jauh dibanding banyaknya mobil di parkiran ataupun di depan kampus.
Banyaknya mobil mungkin menyenangkan. Ini tandanya tak hanya dosen, para mahasiswa yang kuliah di sini pasti juga sejahtera. Buktinya, tempat parkir di kampus terbesar di Bali ini sampai tak muat.
Tentu saja jauh dibandingkan ketika saya pertama kali masuk kuliah di sini, pada 1997 silam. Saat itu, saya melihat kampus Unud di Jl Sudirman sebagai kampus ndeso karena gedung dan suasananya yang amat sederhana.
Maklum, kampus yang pernah saya lihat sebelumnya adalah Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang, yang bisa jadi adalah salah satu kampus dengan gedung termegah di Indonesia.
Namun, meskipun ndeso, saya menyukai atmosfir kampus Unud ketika itu. Pagar depan tidak terlalu tinggi, hanya setinggi dada orang dewasa. Bentuk pagar juga terbuka. Terasa tak memisahkan warga dengan penghuni kampus.
Sesekali, para mahasiswa nakal termasuk saya meloncati pagar itu ketika mau memotong jalan keluar kampus.
Kini, pagar setinggi dada di depan kampus itu berganti pagar setinggi kira-kira 2 meter. Tak bisa lagi orang lewat bisa melihat kampus dengan mudah kecuali gedung-gedung yang makin tinggi menjulang.
Kampus makin tinggi dan megah tapi seperti memisahkannya dengan warga sekitar.
Namun, hal menyedihkan bagi saya adalah hilangnya tempat-tempat terbuka di Kampus Palma. Setiap kali ke sana, saya merasa kehilangan sebagian masa lalu saya.
Zaman saya masih jadi mahasiswa, antara 1997 hingga 2005, saya dan teman-teman sering duduk santai di lapangan-lapangan terbuka itu. Lapangan rumput itu ada di depan Auditorium yang kini berganti gedung Pascasarjana, di samping padmasana atau pura milik kampus, atau di belakang kantin. Tak hanya duduk santai, di sanalah, di lapangan rumput itu, dulu kami sering berdiskusi.
Diskusi paling sering tentu sesama mahasiswa. Namun, sesekali juga dengan dosen. Salah satu yang saya ingat adalah diskusi dengan Pak I Gde Pitana, waktu itu dosen Fakultas Pertanian dan sekarang jadi Plt Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Bersama Pak Pit, begitu kami memanggilnya, diskusi sore itu diadakan sambil duduk di lapangan rumput di samping padmasana. Diskusi serius tapi dengan suasana santai.
Pernah pula kami berdiskusi dengan Rektor Unud ketika itu, Prof Dr dr I Wayan Wita. Kalau tak salah tentang tuntutan agar mahasiswa dilibatkan dalam pemilihan rektor.
Suasana guyub meskipun temanya panas. Rektor dan mahasiswa sama-sama duduk lesehan di lapangan rumput di depan sekretariat pers mahasiswa Akademika.
Yang saya ingat dari diskusi-diskusi tersebut adalah nyamannya ruang terbuka untuk berdiskusi tentang apa saja. Bagi saya, kebebasan memilih tempat diskusi adalah bagian dari kemerdekaan mahasiswa saat itu.
Kini, ruang-ruang terbuka di Kampus Palma itu sudah tak ada lagi. Saya khawatir, itulah pula salah satu alasan kenapa mahasiswa Unud kini makin tak terdengar kiprahnya dalam gerakan-gerakan aktual di Bali.
Di balik kian megahnya kampus Unud, makin hilang pula ruang terbuka untuk berdiskusi. Padahal, kampus tanpa ruang diskusi hanyalah serupa kuburan, sepi tanpa perdebatan..
Leave a Reply