Liburan Malaysia (1): Menjelajah Kota Tua Melaka

0 , , Permalink 0

Kami sudah bersiap untuk yang terburuk.

Jika pun pada hari akhirnya kami batal berangkat karena Bandara Ngurah Rai tutup, kami sudah rela. Biarlah liburan tahun ini batal. Anak-anak pun sepertinya sudah paham.

Tentu saja mereka akan kecewa, terutama Bani. Namun, jika itu harus terjadi, ya mau bagaimana lagi.

Untungnya sih pada hari H, kami bisa berangkat juga. Liburan akhir tahun kali ini, meskipun diwarnai drama, akhirnya berjalan dengan baik juga.

Drama menjelang liburan terjadi ketika Gunung Agung yang sudah selama tiga bulan naik turun statusnya, akhirnya meletus juga. Dibanding di awal krisis tiga bulan lalu, kali ini lebih parah. Bandara Ngurah Rai sampai harus buka tutup.

Begitu pula menjelang kami berangkat 1 Desember lalu.

Beberapa hari sebelumnya, Bandara Ngurah Rai harus tutup setidaknya untuk dua hari. Letusan Gunung Agung memang tidak sampai bandara ini, tetapi abu vulkanik menutup lintasan pesawat. Bandara Ngurah Rai di Bali dan Bandara Internasional Lombok jadi korbannya.

Aku sendiri belum tenang. Bahkan ketika pesawat Malaysia Airlines MH 850 yang membawa kami ke Kuala Lumpur sudah take off pun, aku sudah bersiap seandainya dia harus kembali ke Bali karena erupsi.

Syukurlah itu tidak terjadi.

Sore itu kami akhirnya tiba juga di Malaysia, negara jiran tujuan liburan kami akhir tahun kali ini. Bukan kami yang senang. Dua penumpang di dalam pesawat pun jingkrak-jingkrak dan berteriak saking senangnya bisa meninggalkan Bali yang sedang terkena erupsi.

Sekitar pukul 7.30 malam, kami mendarat di Malaysia. Dari Bandara, kami langsung menuju kota tujuan pertama, Melaka. Sekitar dua jam perjalanan dengan mobil sewaan, sampailah kami di kota ini.

Kota di pesisir barat Semenjung Malaya ini sebenarnya sudah jadi tujuan kami sejak dua tahun lalu. Sayangnya saat itu batal karena tiket dari Pulau Bengkalis ke Melaka sudah habis. Waktu itu akhirnya nyeberang ke negara sebelahnya saja, Singapura.

Menjajal Liburan di Negara Kota Serba Mahal

Melaka menjadi tujuan karena sejarahnya. Salah satu yang membuat semangat 45 berkunjung ke sini, bagiku pribadi, adalah novelnya Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik. Bagaimana pasukan Wiranggaleng yang gagal menyerbu Pasukan Portugis dan tercerai berai ke Melaka.

Karena itulah, kami penuh semangat ketika mengunjungi Museum Sejarah Melaka, tujuan pertama di kota ini. Sebenarnya tidak sengaja juga sih. Niat kami semula hanya ke kota tua Melaka. Ternyata di sinilah juga terdapat museum tersebut.

Melaka sendiri sudah disahkan sebagai Kota Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO sejak 2008. Karena itu, bangunan-bangunan tua masih terjaga dengan baik di sini sekaligus menjadi magnet utama bagi turis untuk datang, termasuk kami.

Museum Sejarah menjadi tempat untuk mengenal perjalanan Melaka. Beberapa hal menarik, misalnya, bagaimana kuatnya pengaruh Nusantara, asal mula Indonesia, di Melaka. Penemu Melaka adalah Parameswara pangeran dari Palembang yang melarikan diri setelah kerajaannya diserbu Majapahit.

Pengaruh Nusantara, termasuk Jawa dan Bali, terlihat pula pada budaya, seperti senjata keris dan sate. Penggunaan huruf jawi, sebutan untuk Arab pego kalau di Jawa, juga mungkin terpengaruh Nusantara. Namun, aku tidak terlalu yakin sih dengan hal terakhir itu. Cuma karena serupa dengan apa yang dulu aku pelajari saja jadi aku menduga itu terpengaruh Jawa.

Kampung Jawa juga menjadi salah satu kampung yang disebut oleh narator saat kami menyusuri Sungai Melaka. Kampung yang dulunya menjadi tempat rehat para nelayan dan pedagang ini menjadi salah satu lokasi wisata juga.

Namun, Nusantara hanya salah satu pemberi pengaruh. Melaka adalah ruang pertemuan beragam budaya karena sejarahnya. Gereja Merah di pusat kota tua menjadi bukti betapa kuat pengaruh Kristiani. Jonker Walk, semacam Pecinan, juga menunjukkan betapa besar pengaruh Cina di kota ini.

Dua aktivitas lain untuk menikmati dan mempelajari Melaka adalah susur sungai dan jalan-jalan di Jonker Walk. Untuk menyusuri sungai, kami harus membayar RM 23 untuk dewasa dan RM 10 untuk anak-anak. Kalau dibandingkan rupiah tinggal dikalikan Rp 3.500 saja. Perjalanan selama sekitar 1 jam ini asyik. Bisa melihat bagaimana masa lalu Melaka sebenarnya terkait erat dengan sungai yang membelah kota ini.

Adapun untuk Jonker Walk, waktu tepat ke sini adalah malam hari. Aneka kios dan lapak akan menjajakan beragama makanan, oleh-oleh, hingga barang sehari-hari. Asyik sih. Sayangnya cuma satu, terlalu penuh manusia sementara jalanan terlalu sempit.

Lebih parah dibandingkan Khaosan Road di Bangkok.

Menyusuri Sungai Melaka dan Jonker Walk menjadi pelajaran tentang kami betapa identitas memang berlapis-lapis. Di Melaka, aneka identitas itu bertemu dan melebur membentuk identitas baru. Sebuah kota tua yang tetap terbuka pada segala macam perbedaan, setidaknya dari apa yang terlihat oleh mata.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *