Dua hari di Melaka ternyata terlalu singkat.
Masih banyak hal menarik tentang kota tua ini yang belum kami jelajahi. Salah satu yang sebenarnya sangat menggoda adalah menyusuri pinggir sungai dengan berjalan kaki.
Di sepanjang Sungai Melaka terdapat trotoar yang terlihat lebar dan nyaman. Di sana, turis bisa menikmati sungai dengan berjalan kaki. Hotel, kafe, bar, rumah penginapan, dan seterusnya juga berjejer. Terlihat memang memanjakan buat penikmat jalan-jalan.
Dengan segala fasilitasnya, melihat Sungai Melaka seperti melihat masa lalu ketika sungai masih menjadi pusat kebudayaan, bukannya jalan raya. Karena itu, rumah-rumah pun menghadap sungai, bukan sebaliknya, memunggungi.
Apa daya, kami belum bisa mencicipi nikmat menyusurinya. Agenda jalan-jalan sudah kadung dibuat jauh-jauh hari sebelumnya, termasuk hanya dua hari di Melaka. Jadi ya relakan sajalah. Mungkin kapan-kapan saja kembali ke Melaka dengan waktu lebih lama.
Hari ketiga di Malaysia, kami pun melanjutkan ke kota lain, Kuala Lumpur. Kami singgah di dua tempat yang asyik juga, Kebun Binatang Melaka dan Putrajaya.
Kebun Binatang sebenarnya bukan pilihan yang menyenangkan bagiku. Kami toh bisa menemukannya di tempat lain. Selain itu juga karena secara ideologis juga kurang nyambunglah jalan-jalan menikmati binatang dikurung di kandang.
Tapi ya harus menekan ego sedikit. Memberi kesempatan anak-anak, terutama adik sebenarnya, untuk menikmati hal yang menyenangkan baginya. Bani sendiri sudah ogah-ogahan.
Kebun Binatang Melaka ternyata lumayan juga. Suasananya lebih alami. Mirip hutan kota. Tapi ya tetap saja isinya binatang yang dikurung dan dikandangkan. Kasihan..
Kami di sana sampai tengah hari untuk kemudian lanjut ke Kuala Lumpur.
Perjalanan ke Kuala Lumpur terasa sangat lama sore itu. Harap maklum. Saat itu akhir pekan setelah cuti panjang alias libur panjang di Malaysia. Banyak warga Kuala Lumpur dan sekitarnya yang jalan-jalan ke Melaka.
Jalan tol pun macet sepanjang perjalanan kami. Dari seharusnya sekitar 1,5 jam, kami pun harus menjalaninya hampir tiga jam.
Adib, sopir sekaligus pemandu perjalanan selama lima hari, menawarkan kami untuk mampir di Putrajaya, kompleks pusat pemerintahan Malaysia. Kota baru Malaysia ini memang terlihat sangat tertata. Jalan-jalan raya lebar. Bangunan-bangunan baru dan besar.
Putrajaya ini selalu mengingatkan pada cerita-cerita buruh migran di kampung halaman pada tahun 1990an. Tentang bagaimana mereka ikut membangun ibu kota pemerintahan baru Malaysia ini.
Sayangnya kami hanya sekitar dua jam di sana. Foto-foto di jembatan, mampir ke halaman masjid, lalu foto-foto di tepi danau. Sepertinya perlu waktu lebih lama di Putrajaya. Masih banyak tempat menarik lain, kata si Adib.
Sekitar pukul 10 malam kami baru tiba di hotel setelah terlebih dulu mampir di Kampung Baru. Kampung di tengah kota Kuala Lumpur ini disebut juga Little Jakarta karena saking banyaknya orang Indonesia di sana. Kami makan gado-gado, sate padang, dan mie aceh di salah satu restoran.
Kampung Baru bisa jadi pilihan jika mau menemukan menu-menu khas negeri sendiri. Sayangnya tidak ada menu Bali. Hehehe..
Setelah Putrajaya, kami melanjutkan perjalanan ke Kuil Hindu dan Pegunungan Genting keesokan harinya. Dua tempat ini berada di satu jalur, di sebelah utara Kuala Lumpur.
Batu Cave, nama resmi Kuil Hindu India di Kuala Lumpur, adalah kompleks kuil di dalam goa. Patung Emas Raksasa, mengingatkan pada patung-patung serupa di Bagan (Myanmar), menjadi ikon lokasi ini.
Hal istimewa di sini mungkin pada perjuangan untuk mencapai goa di mana semua pengunjung harus mendaki anak tangga mencapai ribuan. Baru melihat saja sudah capek, apalagi ketika mendaki.
Di dalam goa terdapat beberapa kuil yang sampai sekarang masih digunakan oleh umat Hindu keturunan India untuk bersembahyang sehari-hari. Ini memang menjadi sisi lain keberagaman di Malaysia, bagaimana minoritas Hindu India ini amat dilindungi.
Secara umum, Batu Cave biasa saja. Tetap menarik tetapi tidak terlalu berkesan bagiku pribadi. Beda dengan lokasi lain setelah itu, Pegunungan Genting.
Nama Genting Highland ini sudah populer sebagai tempat judi dan belanja. Hal yang menakjubkan bagiku adalah karena lokasinya yang pegunungan. Menurut Wikipedia, lokasinya di atas lebih dari 1.700 meter di atas permukaan laut.
Kami disambut kabut. Gelap dan pekat.
Namun, di balik pekatnya kabut itulah berdiri hotel-hotel mewah menjulang tinggi dengan gemerlap luar biasa di dalamnya. Benar-benar susah diterima akal sehat bagiku. Tidak bisa membayangkan bagaimana dulu mereka membuatnya.
Genting Highland terkenal dengan kasino dan tempat belanjanya. Kegiatan yang bisa dilakukan, selain berjudi dan belanja, adalah naik cable car. Kami sih tidak melakukan ketiganya. Hanya jalan-jalan dan cuci mata.
Mungkin besok-besok ke sana lagi ikut bermain judi. Siapa tahu terus bisa kaya mendadak ala Malaysia.
Leave a Reply