Ke Lombok, Merekam Duka Setelah Gempa

0 , , Permalink 0

“Percayalah. Kondisinya lebih buruk dari yang sampeyan kira..”

Omongan Rudy, teman di Mataram yang aku telepon saat di mobil menuju Bandara Ngurah Rai, itu membuatku khawatir. Seburuk itukah kondisinya?

Aku menelpon teman yang pernah dijerat pasal karet Undang-Undang Informasi dan Elektronik (UU ITE) itu saat hendak meliput ke Lombok. Sebagai persiapan. Biar lebih tahu kira-kira apa yang harus disiapkan, terutama secara mental.

Rudy menyarankan agar aku tak perlu menginap di hotel selama di Lombok. Cukup ikut berkemah di rumahnya. “Percuma menginap di hotel. Pasti tidak bisa tidur karena masih terus gempa,” lanjutnya.

Saran itu aku abaikan. Namun, ternyata benar.

Pada malam pertama di Lombok, aku dua kali harus lari keluar kamar hotel karena gempa. Kekuatannya berkisar antara 5 sampai 6 SR. Pertama pada sekitar pukul 23.15 WITA. Kedua sekitar pukul 3 pagi. Saat orang-orang seharusnya terlelap.

Saat keluar dari kamar hotel, aku sudah siapkan barang-barangku. Semuanya ada di dalam tas: laptop, kamera, dan pakaian.

Tak hanya aku. Puluhan tamu di hotel yang sama juga lari panik saat gempa terjadi dua kali malam itu. Ada yang hanya pakai celana kolor dan pakaian tidur. Sebagian tamu, termasuk turis-turis asing, terlihat cemas dan panik.

Malam pertama di Lombok aku tidak tidur tenang.

Namun, itu tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang jadi korban gempa pada Minggu, 5 Agustus 2018 lalu. Omongan Rudy benar, dampak gempa ini lebih buruk dari yang aku bayangkan.

Begitu mendarat di Bandara Internasional Lombok pada Senin petang, suasana duka sudah terasa. Ribuan turis asing menumpuk di bandara. Mereka dievakuasi dari tiga pulau paling populer di Nusa Tenggara Barat (NTB) ini yaitu Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno.

Beberapa turis yang aku temui terlihat mengalami luka-luka. Mereka juga kehilangan tak hanya barang-barang pribadi, tetapi juga rencana untuk berlibur di pulau-pulau cantik itu.

Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) lebih dari 7.000 turis dan warga dievakuasi dari tiga pulau ini. Hal yang menyenangkan bagiku, semua turis yang aku wawancarai bilang, mereka tidak akan takut untuk datang lagi ke Indonesia setelah gempa ini.

Mengharukan..

Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Mataram, mereka yang terluka dirawat seadanya. Aku bertemu pegawai hotel di Gili Air yang patah pinggulnya karena terkena runtuhan dinding. Selama semalam dia harus dibiarkan dalam kondisi terluka di pinggir pantai.

“Banyak orang lebih membutuhkan pertolongan dibanding saya. Ini masih tidak apa-apa,” katanya. Padahal, malam itu saat di rumah sakit, dia beberapa kali mengerang karena kesakitan sambil ditunggu lima anggota keluarganya.

Umumnya para korban itu dirawat di tenda ala barak tentara. Bukan di dalam ruangan rumah sakit. Selain karena memang saking banyaknya korban juga karena lebih aman jika terjadi gempa besar lagi.

Itu pun masih lebih baik dibandingkan apa yang aku lihat selama empat hari di lokasi gempa, terutama di Lombok Utara. Inilah daerah paling parah terkena gempa dengan kekuatan 7 SR itu.

Secara fisik, Lombok Utara terlihat luluh lantak. Dari apa yang aku lihat, nyaris tidak ada bangunan utuh. Semua roboh atau bahkan hancur sama sekali. Rumah-rumah hanya tinggal puing-puing tembok.

Masjid ambruk rata dengan tanah dengan sebagian jamaah terjebak hidup-hidup di dalamnya. Di dua lokasi yang aku kunjungi di Lading-Lading (Tanjung) dan Bangsal (Pemenang), masjid-masjid megah dengan menara tinggi menjulang itu ambruk.

Sandal-sandal dan peci milik jamaah berserakan di antara puing-puing. Rongsokan sepeda motor hancur di bawah reruntuhan. Bau amis darah tercium di udara.

Pasukan Basarnas, polisi, dan TNI mengevakuasi korban. Eksavator mengais-ngais di antara puing-puing. Mencari mereka yang sekiranya masih hidup setelah terkubur di bawah reruntuhan lebih dari 24 jam.

Isak tangis. Muka-muka sembap. Wajah-wajah lara. Lombok Utara penuh duka setelah gempa. Menguar di udara bersama doa-doa. Juga kepanikan dan kecemasan..

Ada yang mengeluh belum mendapatkan bantuan setelah dua hari gempa. Mereka terpaksa membuat tenda dari terpal jemuran agar tidak kepanasan. Ada ibu-ibu tak juga mendapat makanan meski tendanya berada di pinggir jalan besar. Dia tinggal bersama sekitar 1.000 pengungsi lain di bukit berjarak sekitar 500 meter dari pantai. Mereka takut kena tsunami, isu yang menjadi hantu setelah gempa mengguncang pada Minggu malam.

Ketika isu tsunami tak terbukti, muncul isu lain, pencurian. Karena itu di beberapa desa mulai ada penjagaan ketat. Ketika mereka mengungsi, konon sebagian orang mencuri barang-barang berharga yang ditinggalkan.

Kabar simpang siur beredar dengan cepat. Dari mulut ke mulut. Dari ponsel ke ponsel. Dari satu ketakutan ke ketakutan lebih besar. Persis informasi tentang gempa lebih besar yang akan terjadi. Semua hanya menambah nestapa korban gempa, setidaknya selama aku di sana.

Empat hari meliput gempa, aku kembali ke Bali dengan air mata, nestapa, dan doa. Semoga semua korban dikuatkan. Semoga mereka yang meninggal mendapat tempat terbaik di dunia barunya. Semoga gempa tak terjadi lagi. Semoga semua pengungsi segera tertangani. Semoga..

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *