Berkah Lumpur Mengubah Kampung Laut

Setelah sekitar tiga jam perjalanan lewat laut, kami justru menemui orang sedang memanen padi.

Perjalanan kami tersebut untuk melihat bagaimana dampak program mitra Misereor di lokasi program. Kunjunganini merupakan bagian dari lokakarya Pemantauan dan Pendokumentasian Dampak Program Mitra Misereor pada 31 Mei – 2 Juni 2011 lalu.  Dari Pelabuhan Cilacap, kami naik perahu mesin berpenumpang maksimal 10 orang selama sekitar tiga jam. Kami menyusuri laut dan sungai di samping Pulau Nusa Kambangan yang identik sebagai salah satu penjara terbesar di Indonesia.

Setelah melewati laut dan sungai yang penuh arus serta jebakan lumpur itu, kami sampai di Desa Bugel, Kecamatan Kampung Laut. Kami lalu menuju sawah tempat di mana dampak program tersebut bisa dilihat secara kasat mata.

Kasmi, 40 tahun, sedang memanen padi Rabu siang itu. Dia menggunakan ani-ani memotong padi di lahan milik orang lain yang menyewa tenaganya. Padi itu tidak terlalu rapi. Tingginya hingga dada orang dewasa. Padi itu bercampur dengan rumput yang sama tingginya. Kasmi harus hati-hati ketika memilih padi untuk dipanen.

Sambil memanen padi siang itu, Kasmi juga bercerita.

Sawah tempat dia memanen padi tersebut dulunya bagian dari Segara Anakan, Cilacap. Tak ada lahan pertanian seperti saat ini. Hanya air laut dengan endapan lumpur laut ketika air surut. “Di sini dulunya rawa-rawa,” tambahnya.

Karena berupa endapan lumpur asin, menurut Kasmi, warga tak menggunakan lahan tersebut untuk bertani. Warga menelantarkan lahan itu begitu saja.

Perubahan mulai terjadi ketika warga berinisiatif membuat kanal untuk mengalirkan lumpur dari sungai agar mengendap di lahan tersebut. Lumpur sungai tawar akan menggantikan lumpur Inisiatif membuat kanal itu datang dari Romo Carolus Burrow yang juga Direktur Yayasan Sosial Bina Sejahtera (YSBS), mitra Misereor di Cilacap, Jawa Tengah. Secara gotong royong, warga membuat kanal saluran lumpur sepanjang 500 meter tersebut.

Melalui kanal, lumpur dari sungai kemudian dialirkan ke bekas rawa-rawa tersebut. Lumpur dari Kali Cimeneng ini pun menghasilkan lahan pertanian di desa-desa sekitar, seperti Desa Bugel, Penikel dan Pelindukan di Kecamatan Kampung Laut.

Aku tidak terlalu mengerti bagaimana sistem itu bekerja. Namun, hari itu aku melihat sendiri sekitar 30 warga bergotong royong membersihkan kanal tersebut. Dua di antaranya Wasimo dan Sutarno.

Seperti halnya Kasmi, dua petani ini juga bercerita bagaimana perubahan di kampung mereka saat ini. Kalau tidak salah dengar, sekitar 1.500 hektar lahan di kawasan ini dulunya laut. Tapi setelah ada kanal tersebut, pelan-pelan lahan tersebut bisa ditanami.

Kalau menurutku sih bisa jadi karena faktor tingginya sedimentasi juga yang mempercepat terjadinya perubahan alih fungsi lahan dari rawa-rawa tak berguna jadi lahan pertanian seperti sekarang ini.

Apa pun itu, warga kini merasakan manfaatnya. Jika sebelumnya dari sisi pekerjaan semua warga memilih jadi nelayan, maka sekarang mereka bisa bertani. Warga punya pilihan. Lalu, terbentuk pula kampung-kampung baru di sini beserta seluruh infrastrukturnya.

Di tempat lain, Dusun Pelindukan, Desa Ujunggagak, kami melihat program pembangunan jalan yang juga didukung Misereor lewat YSBS. Kami melihat anak-anak pulang sekolah di jalan berbatu yang masih rusak parah dan berlumpur itu. “Itu sudah lebih baik. Dulunya kami harus masuk lumpur kalau pakai jalan,” ujar salah satu warga.

Terbentuknya desa dan sumber penghidupan baru juga melahirkan dampak lain yang tak pernah dipikirkan warga sebelumnya, kembalinya orang-orang yang pernah meninggalkan kampung. Perubahan di Kampung Laut terbukti mengatasi urbanisasi.

Seorang ibu bercerita dia sebelumnya bekerja di Malaysia sebagai tenaga kerja Indonesia. Dia kini sudah punya rumah sendiri di desa tersebut padahal sebelumnya bekerja di Malaysia tanpa hasil memadai.

Ada pula Sutarno, petani di Desa Bugel yang pernah satu tahun merantau di Kalimantan. Dia bekerja di perkebunan kelapa sawit. Dari semula buruh perkebunan kelapa sawit, dia kini bisa punya lahan sendiri di desa kelahirannya.

“Alhamdulillah ada lumpur. Hidup kami jadi lebih baik,” katanya.

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *