Di Cilacap, pastor dan suster berdiskusi akrab dengan ustadz dan kyai. Menyenangkan dan menenangkan sekali.
Ketika wajah beringas melawan liyan semakin sering terlihat di media massa, ada baiknya kita menoleh ke Cilacap. Kota kecil di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat ini menyajikan wajah di mana keragaman terlihat sebagai kekuatan.
Perbedaan di sini tidaklah jadi tempat di mana saling meniadakan tapi sebaliknya, saling menguatkan.
Keragaman itu amat terasa pada hari terakhir workshop Pemantauan dan Pendokumentasian Dampak dan Pengaruh Program Mitra Misereor Kamis lalu. Pada hari terakhir tersebut, kami para peserta berdiskusi dengan tokoh-tokoh masyarakat di mana lokasi program Yayasan Sosial Bina Sejahter (YSBS) dilaksanakan.
Para tokoh warga ini datang dari beragam latar belakang. Ada kyai, anggota DPR, pengusaha, pimpinan pondok pesantren, pimpinan organisasi masyarakat, petani, petugas Lembaga Pemasyarakatan, dan lain-lain. Adapun peserta workshop ada romo, pastor, dan aktivis LSM mitra Misereor di seluruh Indonesia.
Kami berada di satu ruangan. Para tokoh itu saling berbagi pengalaman tentang keragaman di Cilacap. Munir, pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama, misalnya mengatakan hal amat menarik. “Kami tidak pernah bicara tentang ideologi masing-masing tapi dengan bahasa sehari-hari. Agama justru menguatkan,” katanya.
Perayaan atas keberagaman itu sangat mungkin terjadi lewat tangan YSBS. Yayasan yang didirikan Romo Carollus Burrow ini melaksanakan program-programnya tanpa melihat latar belakang agama penerima manfaat programnya.
Aku tidak melihat satu per satu lokasi program ini. Namun, pada hari kedua lokakarya itu aku sempat ikut kunjungan ke Kampung Laut, sekitar tiga jam dari Cilacap. Di salah satu lokasi kunjungan, Dusun Pelindukan, Desa Ujunggagak, kepala desanya bercerita.
“Dulu ada yang menolak program YSBS karena takut mereka akan melakukan Kristenisasi. Nyatanya, sampai saat ini kami tidak pernah sama sekali mendapatkan doktrin tentang Kristen. Kami justru mendapat manfaat dari program-program YSBS,” ujar si kepala desa.
Di desa yang dulunya masuk kawasan laut tersebut, kini sudah tersedia jalan antardesa berkat bantuan dari YSBS dan didukung lembaga donor dari Jerman, Misereor.
Selain pembangunan infrastruktur, YSBS juga melaksanakan program di bidang ekonomi dan pendidikan. Meski YSBS dikelola oleh para romo, programnya tetap tidak khusus untuk yang beragama Katolik. Mujahidin, kyai di Kecamatan Sidareja menyatakan, “Sekolah-sekolah Katolik milik YSBS di Sidareja justru sebagian besar muridnya adalah orang Islam.”
Di tingkat lapangan, selama empat hari di Cilacap, keragaman itu memang terasa setidaknya lewat fisik. Gereja dan masjid berselang-seling sepanjang jalan. Gedung yayasan Katolik bisa berdampingan dengan masjid. Pada malam pertama ketika pembukaan oleh Bupati Cilacap pun aroma keragaman itu sangat terasa karena para romo dan suster berdampingan mesra dengan kyai dan ustadz berpeci maupun mbak-mbak yang berjilbab. Adem melihatnya.
Ketika di beberapa tempat makin sering terjeda konflik terbuka atas nama perbedaan, maka kerukunan dalam keragaman di Cilacap ini terasa menenteramkan.
Leave a Reply