Besar di lingkungan politik, Suryani sempat memilih hanya mengurus keluarga dan pekerjaan. Penolakan pembangunan resort di kawasan Tanah Lot Tabanan menggerakkannya aktif di masyarakat hingga saat ini.
Jarak Denpasar-Amlapura sekitar 100 km atau perjalanan dua jam dengan kendaraan bermotor. Rute jalanan berkelok-kelok dan naik turun bukit. Di beberapa bagian, malah jurang atau lembah menganga di kana kiri jalan. Toh, dengan senang hati perempuan berumur 60 tahun itu menjalani. Rambutnya sebagian memutih, menunjukkan usianya beranjak senja. Perempuan itu, Luh Ketut Suriyani yang lebih biasa dipanggil LK Suryani.
Perjalanan dari Denpasar ke ibukota kabupten Karangasem di Bali Timur itu dijalani LK Suriyani tiap minggu dalam dua bulan terakhir. Paling tidak setiap Rabu dia hadir dalam sidang kasus pencabolan anak di bawah umur (pedofilia) yang digelar Pengadilan Negeri Amlapura terhadap Brown Wiliam Stuart, warga Australia. Mantan diplomat yang pernah tinggal di Jakarta dan Lombok itu ditahan Polsektif Karangasem sejak awal Januari lalu dengan tuduhan pedofilia terhadap dua siswa SLTP di Karangasem.
LK Suryani pun dibuat sibuk dengan kasus itu. Ketika Brown William baru ditangkap, Suryani dan kawan-kawannya langsung menghadap Kapolda Bali Irjen Pol Made Mangku Pastika dan meminta agar Polda Bali memberikan perhatian kasus tersebut. Sebab, menurut Suriyani, selama ini kasus pedofilia masih dianggap sebagai kasus remeh. “Padahal Bali sudah mendapat citra sebagai surga pelaku pedofilia,” kata Presiden Committee Against Sexual Abuse (CASA) Bali tersebut.
CASA merupakan salah satu organisasi yang didirikan Suryani untuk menjawab semakin banyaknya kasus pelecehan seksual terhadap anak kecil. Ketika itu Suryani kecewa terhadap vonis delapan bulan penjara terhadap Mario Mannara, pelaku sodomi terhadap sembilan bocah di Lovina, Singaraja pada Agustsu 2001. Beberapa kasus lain pun memberikan vonis ringan terhadpa pelaku. Maka, sejaka Oktober 2002, Suryani mendirikan CASA tersebut.
Maka, dalam kasus Brown William Stuart alias Tony, CASA yang dikoordinir Suryani pun melakukan lobi ke banyak tempat agar Brown dihukum berat. Selain Kapolda Bali, Suryani juga mendesak Kepala Kejaksaaan Tinggi Bali I Ketut Yona agar menuntut Tony dengan penjara yang berat. Ketika perkara Tony sudah disidangkan, Suryani pun melakukan audensi ke Wakil Bupati Karangasem, Kapolres Karangasem, Kajari Karangasem, Ketua DPRD Karangasem, hingga Dandim. “Kami tetap ingin menyampaikan bahwa kalau Tony dihukum ringan, pedofilia akan semakin mengancam anak-anak di Bali,” tegas Suryani.
Perhatian terhadap kasus pedofilia hanya salah satu aktivitas ibu dari enam putra tersebut. Saat ini Suryani juga masih aktif mengajar di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana (Unud) Bali, melayani pasien di tempat praktek, melaksanakan meditasi massal tiap Sabtu dan Minggu sore di wantilan DPRD Bali, menulis kolom psikiater di harian Bali Post Minggu, maupun menjadi pembicara di berbagai seminar tentang ilmu jiawa (psiaktri).
Di bidang psikiatri saat ini Suryani menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Psikiatri Budaya Indonesia, Kepala Lab Psikiatri FK Unud, Presiden Foundation of Traditoonal Healing in Bali, Ketua Perhimpunan Gerontologi Medisine (Pergemi) Cabang Bali, hingga aktif di perhimpunan dokter jiwa se-Indonesia, regional, maupun internasional.
Pendidikannya di bidang psikiatri dimulai ketika kuliah di Fakultas Kedokteran (FK) Unud pada 1963-1972 sedangkan S2 dan S3 di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Perempuan kelahiran Singaraja, 22 Agustus 1944 itu pun pernah mengikuti kuliah kesehatan mental di Hawaii pada 1984-1988 dan post graduate medical training di Australia pada 1977. Ketertarikan pada psikiatri ini awalnya sederhana. “Selain karena bukunya tipis juga karena kalau pasien meninggal dokternya tidak akan mendapat masalah,” kata Suryani sambil tertawa.
Ketika lulus pun Suriyani lebih memilih menjadi penjahit daripada jadi dokter. Sebab profesi yang sudah dijalani sejak mahasiswa itu lebih menjanjikan dari segi materi. Hingga suatu saat istri dari Tjokorda Alit Kamar Adnyana itu harus menggantikan Tjokorda Rai bertugas di Klungkung. Sejak itulah, profesi sebagai dokter itu dijalani.
Meski lahir dan besar di lingkungan politik, Suryani mengaku tidak terlalu tertarik dengan politik. Padahal sejak kecil dia sudah biasa ikut ayahnya yang pengurus PNI berkampanye ke berbagai tempat di Bali. Suryani juga akrab dengan pengurus PKI maupun underbow-nya. Semasa sekolah dan kuliah, Suryani lebih memilih aktif di kegiatan deklamasi. Tidak heran dia lebih dikenal sebagai deklamatrsi pada tahun 1960-an. Ketika itu dia berteman akrab dengan Putu Oka Sukanta yang pernah dipenjara di Pulau Buru, Maluku.
Lulus kuliah, menikah, dan menjadi dokter kemudian mengisi hari-hari Suryani. Dia hanya sibuk dengan urusan-urusan pekerjaan dan keluarga. Hingga akhirnya pada 1988, dia tergerak untuk mengabdi kepada Bali karena adanya erncana pembangunan Bali Nirwana Resort di kawasan Tanah Lot, Tabanan. Padahal kawasan tersebut bagi orang Hindu Bali adalah kawasan suci yang tidak boleh dibangun fasilitas pariwisata.
Dalam waktu semalam Suryani yang ketika itu menjadi Wakil Ketua Society for Bali Study pun bergerak menghubungi berbagai kalangan untuk bergerak menolak pembangunan tersebut. Maka, pada saat itu terjadilah demonstrasi besar menolak pembangunan BNR. Meski tidak berhasil menghentikan pembangunan resort mewah punya Kelompok Bakrie itu, Suryani mengaku momentum tersebut telah menumbuhkan niatnya aktif di masyarakat. Pada 1998 misalnya dia turut berdemonstrasi bersama mahasiswa menjatuhkan Soeharto.
Maka, hingga saat ini Suryani pun tetap aktif sebagai aktivis sosial. Caranya tidak lagi dengan berdemonstrasi tapi pendekatan dialogis. Misalnya ketika menolak adanya dana purnabakti bagi anggota DPRD Bali, Suryani dan aktivis lain di Bali menemui Ketua DPRD Bali agar membatalkan rencana tersebut. Demikian halnya dalam kasus pedofilia atau kasus lain.
Sebagai perempuan Bali, Suryani mengaku sering diposisikan sebagai objek. Padahal, adat Bali sangat menghargai keberadaan Bali. “Tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan di Bali,” katanya. Kalau ada kelompok-kelompok yang menuntut emansipasi wanita, menurut ibu dari dua pebasket nasional ini, berarti mereka belum sepenuhnya memahami adat Bali. “Pandangan mereka terlalu berorientasi ke Barat,” ujarnya.
Suryani mencontohkan dalam upacara di pura, perempuan berperan penting untuk menyediakan upakara (perlengkapan upacara) serta ada yang menjadi penari. Artinya kalau tidak ada perempuan, upacara itu tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam paruman (rapat adat) pun suami turut serta sebagai representasi suara perempuan.
Peran perempuan paling besar, lanjutnya, adalah mengurus keluarga sebagai bagian inti dari masyarakat. Karena itulah, meski aktif di berbagai organisasi dan kegiiatan sosial, Suriyani tetap menjadikan keluarga sebagai dasar. “Bagi saya keluarga adalah inti dari segalanya,” kata nenek dari dua cucu ini.