Puluhan mata waspada menyambut begitu kami turun dari kereta.
Mata-mata itu diwakili close circuit television (CCTV) yang ada di setiap pojok. Bahkan, di stasiun Kallang, tempat di mana kami turun hari ini, CCTV itu seperti mengintimidasi. Persis di depan pintu saat kami baru turun dari kereta.
Begitu turun dari kereta, maka inilah pertama kalinya aku menginjak tanah bekas jajahan Sriwijaya dan Majapahit ini setelah sebelumnya hanya empat kali lewat di Bandara Changi pada 2003 dan 2004. Hehehe..
Kali ini aku termasuk salah satu dari rombongan blogger dari Indonesia yang mau jalan-jalan dan belajar di negeri ini pada 1-3 Februari.
Cuma kok ya bagiku terasa intimidatif sekali sekali. Begitu turun langsung disambut CCTV.
CCTV ini hal biasa sih. Hampir di setiap kota besar yang pernah aku kunjungi, hal serupa juga ada. London, Amsterdam, Brussels, Paris. CCTV nyaris ada di setiap pojok. Cuma, biasanya di sana posisinya agak tinggi, sekitar 3-5 meter sehingga tidak terlalu mencolok.
Kalau di Singapura ini CCTV-nya terasa mengintimidasi karena saking dekatnya. Plus, tulisan pengingat bahwa kita diawasi juga ada di mana-mana.
Tak hanya di stasiun, kamera pengawas kita ini juga aku lihat di beberapa tempat yang aku kunjungi pada hari pertama di negeri seluas 704 km persegi atau sekitar 1/7 luas pulau Bali ini. China Town, Marina Bay, Esplanade, dan seterusnya. Semua dipenuhi kamera pengawas ini.
Aku merasa seperti manusia di dalam rumah kaca yang diawasi ke mana saja kita bergerak. Serupa Minke yang diawasi terus oleh Pangemanann dalam roman Rumah Kaca karya Pram.
Tapi ya, begitulah risiko hidup di negeri penuh aturan, seperti juga di Singapura. Setiap apa yang kita lakukan akan diawasi CCTV. Mereka siap mencatat apa saja yang kita lakukan.
Hasilnya, Singapura termasuk salah satu dari sepuluh negara paling aman di dunia. Menurut Tourism Review, negara dengan penduduk sekitar 5 juta ini serupa dengan Jepang, Selandia Baru, dan seterusnya.
Selain aman, negeri ini juga tertib. Para pengguna jalan harus menunggu lampu hijau untuk melintas jalan raya. Pengendara mobil segera berhenti ketika ada orang menyeberang meski mobil tersebut boleh lewat terus. Di mana-mana bersih. Rapi.
CCTV menggantikan tugas polisi. Maka, selama di Singapura, aku nyaris tak pernah melihat polisi, apalagi polisi lalu lintas. Kalau toh ada cuma satu pas di bandara.
Lha buat apa polisi. Toh semua sudah diawasi dan direkam oleh CCTV. Maka, begitu ada yang melanggar, katakanlah lalulintas, maka polisi tinggal mendatanginya lalu memberikan denda ke rumahnya.
Oh ya, soal denda ini pula yang terasa amat mengganggu di Singapura. Banyak banget tulisan pengingat tentang mahalnya denda di Singapura. Di dalam kereta, misalnya, ada larangan makan atau bawa gas mudah meledak. Jika ngotot membawa bisa kena denda antara $ 500 hingga $ 5.000.
Saking banyaknya aturan di Singapura ini, tak heranlah jika warga di sana sendiri mengaku stress. Para aktivis tak bebas berekspresi. Katakanlah demo atau mengkritik pemerintah. Tak heran jika negara ini pernah disebut oleh Reporter Without Borders di urutan 133 dari 175 negara yang menghormati kebebasan berekspresi.
Parahnya lagi harga barang ataupun jasa yang serba mahal. Sebagai contoh, sebungkus rokok harganya bisa enam kali lipat dibanding harga di Indonesia. Jadi ya, meski Singapura jauh lebih maju dan tertib, Indonesia masih lebih baik dalam urusan murahnya biaya hidup serta adanya jaminan kebebasan berekspresi di negeri ini.
Leave a Reply