Ternyata, netizen Bali itu muda dan berbeda.
Demikian salah satu hasil penting dari survei daring (online) yang kami adakan lewat Sloka Institute selama sebulan lalu. Sebagian hasil survei sudah bisa ditebak. Namun, sebagian lainnya justru mengejutkan. Dan, menyenangkan.
Survei daring tersebut kami adakan pada 21 Mei – 20 Juni 2012. Ada 401 responden mengisi survei untuk pengguna internet (netizen) di Bali maupun orang Bali yang tinggal di luar Bali tersebut.
Sebenarnya, kami sudah pernah membuat survei serupa pada tahun 2010 silam. Cuma, tak jelas hasilnya karena teman yang bantu bikin survei luring (offline) tersebut keburu kuliah S2 di Belanda. Dua tahun berselang, kami baru bikin lagi survei tersebut.
Kali ini dengan dukungan dari teman yang selama ini lebih banyak berhubungan lewat dunia maya, Adi Sudewa. Kami mendiskusikan pertanyaan survei terlebih dulu sebelum dia yang mengunggah ke internet.
Ada tiga hal yang ingin kami cari lewat survei tersebut, yaitu profil netizen, pola penggunaan internet, serta pola konsumsi dan persepsi netizen Bali terhadap media massa.
Hasil yang bisa ditebak, antara lain, netizen di Bali sebagian besar berusia muda, antara 20 – 30 tahun dan dominan laki-laki. Netizen di Bali juga makin banyak yang mengakses internet dari perangkat bergerak, seperti ponsel, sabak, maupun komputer jinjing.
Kalau melihat pada usia netizen ini, maka wajarlah kalau makin banyak digital native di pulau ini. Digital native ini adalah orang-orang yang nyaris tiap aktivitasnya tak bisa lepas dari hal-hal digital. Contohnya ya mau makan jepret makanannya dulu, bukan berdoa. Hehe..
Generasi baru digital native ini bersiap menggeser orang-orang tua yang masih gagap dengan teknologi informasi alias digital immigrant. Inilah orang-orang yang memang bisa beli gawai untuk anak dan dia sendiri tapi masih canggung untuk menggunakannya.
Seperti juga tren global, netizen di Bali juga makin asyik berjejaring sosial. Mereka juga eksis. Tak mau ketinggalan dengan warga global.
Hasil survei yang tak terduga adalah meskipun eksis, netizen Bali ini ternyata kritis. Mereka tidak narsis.
Selama ini kan ada anggapan bahwa pengguna internet itu lebih suka bernarsis ria. Misalnya lebih asyik mejeng di Facebook atau ceriwis tentang dirinya sendiri di Twitter. Ternyata tidak juga. Hasil survei menunjukkan netizen Bali lebih banyak yang nulis status di Facebook atau ngoceh di Twitter tentang isu aktual.
Mereka yang ngetwit tentang kegiatan pribadi atau menggalau soal pacar ataupun keluarga justru lebih sedikit dibandingkan yang berkomentar terhadap isu aktual ataupun lingkungan sekitarnya.
Artinya, inilah generasi baru di Bali saat ini. Anak-anak muda yang eksis tapi juga peduli dan kritis. Tentu saja ini tak berarti bahwa mereka kemudian mewujudkannya dalam bentuk aksi nyata. Sebab, kepedulian di dunia maya dan di dunia nyata itu masih sesuatu yang terpisah. Kadang, keduanya tak seiring sejalan.
Tapi, ya, menurutku, tetap ada optimisme besar terhadap generasi baru ini. Mereka yang tak cuek pada isu di sekitarnya. Mereka tak cuma diam ketika melihat sesuatu yang tak sesuai pemikirannya. Mereka bersuara meski hanya di dunia maya.
Selanjutnya tinggal perlu ada yang mengelola agar suara di dunia maya itu bisa memiliki daya di dunia nyata.
Ilustrasi karya anak-anak kreatif baik hati di Kapatudjeng.
August 27, 2012
Walaupun ndak ikut sebagai responden, semoga saya masuk di antara generasi itu 😀
September 10, 2012
Eh itu persentasenya 200% lebih lho…. 😀
September 10, 2012
Komentar diatas maksudnya biar aku bisa dimasukkan kedalam kelompok yang kritis 😀