Setelah 15 tahun berlalu, akhirnya aku mengalami lagi.
Naik sepeda motor menyeberang dari Bali ke Lombok dan sebaliknya. Kali ini bersama si Fino, sepeda motor matic anak kandung Yamaha. Sendiri pula. Ah, asyiknya..
Petualangan (ais peh!!) Perjalanan kali ini untuk liputan tentang penolakan rencana pengerukan pasir laut di Lombok Timur. Laut seluas 1.000 hektar itu akan dikeruk sebagai bahan reklamasi di Teluk Benoa Bali. Liputannya untuk Mongabay yang memang membiayai perjalanan kali ini.
Perjalanan pertama kali ke Lombok aku ingat antara 2001-2002. Waktu itu bersama si Legenda, sepeda motor pertama yang kini sudah berganti dengan si Fino.
Setelah 15 tahun berselang, kali ini aku kembali melali ke Lombok naik sepeda motor. Terakhir ke Lombok sih ke sini naik pesawat yang cuma 30-an menit itu.
Pilihan naik sepeda motor sepertinya paling masuk akal buat liputan ke desa-desa. Kalau naik pesawat lalu sewa mobil sih bisa saja. Tapi, kasian yang kasih biaya. Hehehe..
Lagian, naik si Fino menjelajah pedalaman ini pelan-pelan menjadi semacam pelarian yang amat menyenangkan. Begitu pula kali ini.
Bagian pertama perjalanan termasuk singkat. Hanya sekitar satu jam dari rumah di Denpasar ke Padangbai, pelabuhan penyeberangan ke Lombok. Plus bonus makan di lesehan Mertasari, Pesinggahan sih sekitar 1,5 jam.
Jalur Denpasar – Padangbai sih enaknya tiada tara. Jalan lurus. Datar. Relatif sepi dibandingkan jalur ke barat, Denpasar – Gilimanuk. Sangat asyik. Tak terasa, wusssss, sampai di Pesinggahan untuk ngisi perut sebelum lanjut.
Bagian kedua adalah menyeberang ke Lombok. Tiket penyeberangan sepeda motor dari Padangbai, Bali ke Lembar, Lombok Rp 112.500. Tidak enaknya cuma pas antre masuk kapal. Harus menunggu hampir 2 jam dengan duduk-duduk di atas motor yang antre dalam barisan.
Menyeberang ke Lombok pun molor dua jam dari perkiraan. Mau bagaimana lagi. Tidak ada pilihan selain menunggu dan menunggu kapal menyeberang.
Lama penyeberangan Padangbai – Lembar sekitar empat jam. Tidak terlalu terasa lama sih karena kapal bagus. Kursi nyaman di ruangan berpendingin ruangan (AC). Banyak colokan. Televisi layar lebar dengan tontonan dari TV berlangganan.
Kenikmatan menyeberang pagi hari adalah bisa menikmati suasana lautan selama perjalanan. Gelombang juga relatif tenang. Cuaca cerah.
Lalu, setelah itu bagian ketiga, perjalanan dari Lembar ke Selong, Lombok Timur. Waktunya sekitar dua jam, termasuk mereka-reka apakah arah yang aku lewati sudah benar atau tidak.
Aku sengaja tidak terlalu mengandalkan peta digital di ponsel. Biar bisa lebih bertanya pada warga-warga sepanjang jalan jika kebingungan. Bagaimanapun juga, berinteraksi dengan sesama manusia adalah satu cara menikmati sebuah perjalanan.
Peta ala Google hanya aku andalkan saat mentok atau kebingungan. Hasilnya, sampai dengan selamat juga di Selong, Lombok Timur.
Bagian terpenting dari perjalanan kali ini tentu saja liputan itu sendiri. Dua hari mengunjungi desa-desa di pesisir Lombok Timur, seperti Labuhan Haji, Tanjung Luar, dan Ketapang Raya.
Fino bisa diandalkan di jalan-jalan yang belum pernah dia kenal sekalipun. Apalagi kondisi jalan relatif sepi dan bagus. Lantjar djajalah..
Kamis sore, setelah liputan di desa terakhir, aku balik ke Mataram. Agenda lain adalah wawancara aktivis Walhi NTB keesokan harinya. Saat perjalanan balik dari Selong ke Mataram inilah aku baru sadar kalau perjalanan dari arah sebaliknya, Lembar – Selong, ternyata memang melewati jalur berbeda.
Pantes saja waktu itu sepi. Beda dengan jalur yang kali ini aku lewati, ramai dengan kendaraan-kendaraan besar.
Lama, perjalanan kurang lebih sama, 2 jam juga. Plus sesekali bingung pas mau ketemu pertigaan atau perempatan, jadilah antara 2,5 – 3 jam perjalanan sampai di Kota Mataram.
Hal menyenangkan naik sepeda motor saat liputan adalah jadi lebih fleksibel mengatur jadwal. Bisa bebas mau kapan saja untuk pergi dan kembali. Begitu pula setelah kecewa karena batal wawancara dengan Direktur Walhi NTB. Kami sudah janjian sehari sebelumnya namun dia tidak muncul juga di kantornya tanpa informasi apapun.
Setelah menunggu empat jam lebih tanpa kepastian, aku pergi dengan sakit di hati. *HALAH!!
Serasa shitnetron ala India, aku cabut dari kantor Walhi NTB diiringi derai hujan. Deras. Untunglah ada si Fino yang setia menemani perjalanan kembali ke Bali sore itu juga. Kami kembali meliuk-liuk di antara lalu lintas Mataram yang juga makin macet serupa Jakarta dan Denpasar, lalu 40-an menit kemudian sudah duduk manis di dalam kapal menuju Bali.
Kapan-kapan kita touring lagi, Fino. Kita jelajah yang lebih jauh lagi. Mencari dan menggali suara-suara mereka yang tidak terdengar di pinggiran..
June 6, 2016
Sok besok, kalo mau Touring pake motor, bilang bilang ya om…
saya ikut.
Nanti si om naik Fino ke lokasi, saya naek pesawat deh biar ndak ngerepotin.