Beragam Pilihan Menikmati Chiang Mai

0 , , Permalink 0

Tinggal pilih: kuil, pasar malam, atau buku-buku bekas?

Selama Desember hingga Februari, kota terbesar kedua di Thailand ini sebenarnya masuk musim dingin.

Namun, kota yang berada di pegunungan Thailand bagian utara itu terasa hangat pada pertengahan Januari 2018 lalu. Inilah waktu tepat menjelajah kota kreatif ini.

Ada tiga pilihan penerbangan dari Bali ke Chiang Mai: via Singapura, Kuala Lumpur, atau Bangkok. Kali ini saya terbang dengan maskapai murah AirAsia melalui Bangkok.

DPS – 11:55 AM. Penerbangan terlambat sekitar 30 menit dari jadwal. Saya memang sengaja mengambil penerbangan agak siang, bukan pukuk 07.00 WITA. Selain karena malas berangkat pagi-pagi, juga biar nanti tidak terlalu lama menunggu di tempat transit, Bangkok.

DMK – 03:15 PM. Setelah sekitar empat jam penerbangan dari Bali, AirAsia FD 397 pun mendarat di Bandara Internasional Don Muang, Bangkok. Penerbangan lanjutan ke Chiang Mai molor sekitar 30 menit dari jadwal. Jadi ada waktu lebih lama untuk transit di sini, sekitar dua jam.

CNX – 06:45 PM. Hari beranjak petang ketika AirAsia FD 3439 mendarat di Bandara Internasional Chiang Mai. Sekilas, bandara ini mengingatkan pada Bandung, kota di ketinggian pegunungan dengan bandara dikelilingi pemukiman. Perjalanan dari Bangkok hanya sekitar 1 jam.

SELAMAT DATANG DI CHIANG MAI.

Agenda utama ke Chiang Mai kali ini untuk pertemuan ketiga media komunitas se-Asia Tenggara yang diadakan CFI Media, lembaga pendukung program peningkatan kapasitas media dari Perancis, dan FCEM, lembaga pengembangan media dari Thailand yang juga mengelola Prachtai. Dua pertemuan sebelumnya pada Juli 2017 dan Oktober 2017 diadakan di Bangkok.

Chiang Mai menjadi pilihan pertemuan ketiga sekaligus penutup karena kota ini juga tempat di mana media-media komunitas tumbuh subur. Karena itu kami berdiskusi pula dengan pengelola media komunitas baik dalam bentuk situs ataupun radio.

Ada dua pertemuan selama di Chiang Mai: forum penutup keseluruhan program media komunitas se-Asia Tenggara pada 14-18 Januari 2018 dan pelatihan untuk pelatih pada 19-22 Januari 2018. Tak banyak waktu untuk jalan-jalan. Hanya ada setengah hari jeda pada 19 Januari 2018.

Selebihnya, waktu jalan-jalan di Chiang Mai hanya pada malam hari setelah sesi-sesi.

Untungnya, Chiang Mai memang punya banyak tempat menarik untuk jalan-jalan pada malam hari. Selain ke daerah urban dan kontemporer seperti Kawasan Nimman, kami juga lebih banyak menjelajah pasar-pasar malam.

Setengah hari ke kuil, hampir tiap malam ke pasar malam, dan berburu buku, inilah oleh-oleh dari Chiang Mai Januari lalu.

KUIL BUDHA

Berada di pegunungan Thailand bagian utara membuat Kota Chiang Mai menyerupai lembah dikelilingi bukit dan pegunungan. Di bagian barat kota, terlihat pegunungan dengan sebuah titik kecil keemasan. Titik itulah kuil paling terkenal di Chiang Mai, Wat Phrathat Doi Suthep.

Kuil ini berjarak sekitar 1 jam perjalanan dari pusat kota. Bersama sembilan teman lain, kami menyewa dua mobil. Tarifnya sekitar Rp 300 ribu untuk satu mobil berisi 3-4 orang. Lamanya dua jam.

Jalanan dari Chiang Mai menuju kuil ini berkelok dan menanjak. Salah satu teman bahkan sampai muntah. Namun, kelokan dan tanjakan itu berbuah manis ketika sudah sampai di salah satu lokasi kuil paling banyak dikunjungi turis di Chiang Mai ini.

Untuk mencapai bagian inti kuil ini, kita harus naik tangga. Konon jumlah anak tangganya sampai 306. Saya sih tidak menghitung. Cuma merasakan capeknya pas naik.

Pagoda di kuil ini berwarna kuning keemasan. Inilah bagian inti di mana orang-orang bersembahyang. Selain dengan cara duduk bersimpuh dan menghaturkan bunga ataupun lilin, pengunjung juga berjalan mengelilingi pagoda setinggi 20an meter dan garis tengah 15an meter itu.

Bagian paling asyik di kuil ini, dan justru tersembunyi, adalah titik untuk melihat Kota Chiang Mai dari ketinggian. Dari lokasi di bagian belakang kuil ini, kita bisa menikmati lansekap Chiang Mai di bawah sana, termasuk suasana bandara lengkap dengan kesibukan pesawat naik turun. Sesuatu yang belum pernah saya alami di tempat lain.

PASAR MALAM

Chiang Mai terkenal dengan pasar malam. Dua pasar malam pada akhir pekan bisa jadi pilihan terbaik berburu aneka barang dan makanan.

Bahkan ketika saya di dalam mobil penjemput dari bandara ke hotel, sopirnya sudah menyarankan agar saya ke pasar malam. Waktu itu saya memang tiba saat akhir pekan, hari di mana pasar malam terbesar di Chiang Mai sedang buka.

Pasar malam ini menggunakan jalan umum yang ditutup dua hari pada akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Pedagang berjualan di trotoar kanan kiri jalan. Kita, para pengunjung, bisa menyusuri sekitar 1 km jalan dan mencari aneka barang murah meriah ala Thailand.

Kaos, tas, gantungan kunci, tempelan kulkas, dan pernak-pernik lain tersedia dengan aneka mutu dan harga.

Pasar malam Chiang Mai pada akhir pekan berada di dua tempat berbeda tetapi produk dan penjualnya kurang lebih sama. Bahkan, beberapa pengamen dan pengemisnya juga sama. Hehehe..

Jika datang ke kota ini pada hari biasa, ada setidaknya pasar oleh-oleh yang buka tiap malam, yaitu pasar malam Ploen Ruedee dan Chiang Mai Night Bazaar. Dua tempat ini lebih mirip pasar seni biasa tetapi, secara umum, harga barang lebih mahal. Padahal, kalau dari kualitas rasanya tak jauh beda.

Di pasar malam, tak hanya ada buah tangan tetapi juga aneka makanan. Lengkap setelah 1-2 jam perburuan barang-barang.

BERBURU BUKU

Beberapa toko buku di Chiang Mai menjual aneka ragam buku dengan berbagai topik dan harga yang susah ditemukan di Indonesia, apalagi Bali.

Perihal ini justru baru saya tahu dari teman asal Myanmar. Sebagai penikmat buku dan tinggal di tetangga dekat Chiang Mai, dia sudah sering berburu. Maka, Letyar Tun, si teman itu pun jadi pemandu kami.

Toko buku pertama yang kami kunjungi adalah The Lost Books Shop, dekat pasar malam. Jadi berburu buku bekas ke sini bisa sambil jalan-jalan ke pasar malam. Koleksinya banyak tetapi penjaganya, seorang bule, agak galak meskipun dia juga seperti perpustakaan hidup karena terlihat bisa membahas tiap buku yang dibeli pelanggan.

Tiga toko buku yang berdekatan adalah Shaman, Gekko, dan Back Street. Mereka berada di satu kawasan. Cukup jalan kaki dari satu toko ke toko lain. Koleksinya, menurut saya sih, bagus-bagus. Banyak dan beraneka rupa topik. Kondisinya ada yang baru, lebih banyak yang bekas.

Dari tiga toko itu, saya membeli dua buku saja di Gekko yaitu catatan perjalanan Che Guevara dalam Motorcycle Diaries dan This Machine Kills Secrets tentang perjalanan salah satu situs pembocor rahasia terbesar, Wikileaks. Harga di sini lebih murah dibandingkan dua toko lain:. Dua buku bekas yang berkualitas tanpa membuat duit amblas. HALAH!

Lumayan buat oleh-oleh dari Chiang Mai. Oleh-oleh lain dalam bentuk foto bisa dinikmati di Flickr.

Chiang Mai

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *