Menu besar menyambut kami di Viet Tri.
Ada empat menu sayuran: bambu muda atau rebung bercampur taoge dioseng-oseng, irisan pepaya muda, sup sayur hijau, dan buah terong kecil mentah serupa bakso. Masing-masing dalam dua piring atau mangkuk besar.
Lauknya ada tahu goreng, daging ayam rebus, dan babi goreng. Menu banyak ini dilengkapi dua botol arak lokal sebagai pelengkap makan siang. Tidak ada air putih dan nasi layaknya di Indonesia. Dua menu terakhir itu hanya sebagai pelengkap. Itu pun jika diminta.
Begitulah petani di Komun Tan Duk, Kota Viet Tri, Provinsi Phu Tho menyambut kami siang itu. Para petani ini termasuk petani ini yang bekerja dengan dukungan VECO Vietnam. Kami ke sana untuk ngobrol soal sayur sehat yang mereka produksi. Jarak tempat ini sekitar 2 jam perjalanan dari Hanoi.
Kami tiba di komun, kata dasar komunis sekaligus semacam kecamatan kalau di Indonesia, ini ketika sudah jam makan siang. Karena itulah, hanya sekitar lima menit setelah kami tiba di sana, makan siang pun sudah siap. Semua diletakkan di meja bundar. Kami bertujuh, tiga petani, satu sopir, serta aku dan dua teman dari VECO Vietnam duduk melingkar.
Sambil makan siang itu, aku pun belajar soal bagaimana budaya makan orang Vietnam.
Hal pertama adalah soal menu utama. Bagi (mungkin semua) orang Vietnam, menu utama mereka adalah sayur, bukan nasi seperti di Indonesia. Jadi, mereka ya makannya sayur. Nasi hanya pelengkap jika diperlukan. Itu pun keluar pada bagian paling akhir. Padahal, kalau di Indonesia, menu paling pertama dan paling penting adalah nasi. Sayur justru pelengkap.
Karena menjadi makanan utama, sayur ini diolah dalam banyak variasi. Namun, setidaknya berdasarkan pengalamanku, semua sayur itu disajikan segar. Ada yang mentah atau hanya direbus sedikit. Tidak ada yang, misalnya, jadi sayur asem apalagi lodeh yang bersantan ala orang Jawa.
Kedua, cara makan. Kalau di Indonesia pada umumnya makan menggunakan piring di mana tiap orang mengambil nasi, lauk, dan sayur dalam satu piring, orang Vietnam tidak demikian. Mereka pakai mangkuk lalu hanya mengambil sebagian sayur atau daging lalu dimasukkan di mangkuk. Setelah makanan di mangkuk habis, biasanya dua sampai tiga kali suapan, mereka akan ambil lagi. Begitu seterusnya.
Tak Sopan
Untuk mengambil sayur atau daging, mereka pakai sumpit, bukan sendok. Aku kemudian juga baru tahu. Ternyata cara memegang sumpit ini pun menunjukkan kesopanan seseorang. Memegang sumpit yang baik itu di sepertiga bagian dari atas. Makin turun, misalnya setengah atau bahkan sepertiga dari bawah, berarti makin tak sopan.
Sebelum sayur atau daging tersebut disuapkan ke mulut, biasanya dicelupkan ke saus ikan berwarna mirip kecap encer. Saus ikan ini diletakkan di tengah. Dia menjadi bumbu wajib seperti juga wajib bagi mereka yang ikut makan untuk mencelupkan ke dalamnya. “Agar kita semua merasakan rasa asin yang sama,” begitu filosofinya.
Sambil bersantap, mereka biasanya ngobrol banyak hal. Ketika itulah gelas-gelas bening akan terisi arak lokal. Jenis dan rasa arak ini macam-macam. Tapi, siang itu kami sambil minum arak yang agak keras, seperti arak bali. Aku sih baru empat gelas saja sudah pusing. Dunia agak berputar ketika aku sambil memasukkan sayur dan daging.
Minum arak ini pun ada tata caranya. Orang yang bertugas menuangkan arak ke dalam gelas adalah mereka yang paling muda. Ketika baru mulai makan, semua orang akan tos bareng dulu. Biasa sih, gelas terisi arak tersebut akan diadu bersama-sama di tengah sambil mereka menyampaikan harapan. Misal, panen makin banyak, badan tetap sehat, dan semacamnya.
Selain tos arak bersama-sama, kadang juga ada tos personal. Hanya dua orang. Aku, misalnya mendapat tos dari mereka semua satu per satu sebagai ucapan selamat datang atau terima kasih karena sudah datang. Usai tos, arak harus diminum. Lebih bagus kalau habis. Setelah itu keduanya berjabat tangan. Etikanya, tangan kiri orang yang lebih muda harus memegang lengan kanannya yang menjabat tangan orang yang lebih tua.
Bagiku, cara makan orang Vietnam ini memang lebih mirip bersenang-senang. Tak cuma soal mengisi perut tapi juga berbagi cerita, doa, ataupun pusing. Begitulah, 1,5 jam pun tak terasa ketika makan di Vietnam. Usai makan siang itu, aku tak cuma kenyang tapi juga pusing. Agak mabuk dan ngantuk..
October 16, 2012
emang menu’e opo mas? kok rada rada mabok?
October 16, 2012
wah enak nih,,bikin lapar
October 19, 2012
Hi Bli,
Oh begitu toh kalo saudara dari Vietnam menyantap makanan, baru tau.. wah ngArak jg pas makan lagi..bener2 unik