Secangkir kopi di tanah subur itu terasa hambar.
Tak ada aroma kopi yang menggugah semangat. Tak ada juga rasa pahit kopi yang pekat. Tak ada sama sekali rasa nikmat.
Padahal, secangkir kopi itu disajikan di Labuan Bajo, Flores, pulau yang subur makmur penuh dengan pohon kopi. Sepanjang pulau di Nusa Tenggara Timur ini, dari ujung barat hingga ujung timur, pohon kopi tumbuh subur meskipun dibiarkan liar.
Karena itulah, kopi hambar itu terasa ironis. Apalagi sehari sebelumnya, aku ke desa-desa penghasil kopi di Manggarai untuk ngobrol dan foto-foto kopi yang termasyhur ini. Desa-desa tersebut berada di pedalaman Manggarai. Dan, seperti biasa, perjalanan ke lokasi-lokasi ini selalu tak mudah.
Jalan berliku-liku naik turun masuk hutan dengan jalan hanya cukup untuk satu mobil. Sebagian jalan masih berupa batu-batu atau aspal berlubang di sana sini.
Namun, di tengah kondisi seperti itu, kanan kiri adalah hutan, bukit, dan jurang yang penuh tanaman kopi. Komoditas ini, seperti juga kakao dan vanili, adalah komoditas dunia. Karena ituah, harga komoditas-komoditas ini pun dikendalikan pusat perdagangan di New York sana.
Kopi-kopi itu rata-rata tumbuh liar. Alami. Tak banyak campur tangan manusia. Sebagian hanya melakukan pemangkasan atau pemupukan. Nyaris tak ada bahan kimia.
Dari tanah subur itu pula diproduksi kopi-kopi juara. Di Desa Rendenao, salah satunya, petani lokal membudidayakan dua jenis kopi, robusta dan colombia. Tahun lalu, dalam lelang kopi di Surabaya, kopi robusta Manggarai ini mendapat penghargaan sebagai kopi di peringkat pertama. Padahal peserta lelang ini dari tempat-tempat produks specialty coffee di Indonesia.
Kopi kolombia pun sama berkualitasnya. Tak banyak tempat penghasil kopi yang punya kopi yang ketika sudah tua berwarna kuning ini.
Tapi ya kopi berlimpah itu belum banyak dijual ke luar. Petani sendiri justru agak kesulitan untuk memasarkan. Banyak alasan. Bisa jadi karena mereka belum tahu cara pemasaran dan ke mana memasarkan. Bisa jadi karena petani tak punya modal.
Di sisi lain, sebenarnya pengusaha juga sering mencari kopi berkualitas. Mereka butuh kopi yang bisa dijual dengan bangga ke pembeli, dalam bentuk kopi siap saji ataupun kopi biji kering. Tapi, pengusaha juga tak selamanya tahu tentang kopi-kopi berkualitas. Atau kadang mereka terlalu malas blusukan ke desa-desa penghasil kopi karena beratnya lokasi.
Jadi, apa jalan tengahnya? Pemerintah harus memfasilitasi. Pertemukan kedua belah pihak ini. Petani dibantu modal, uang ataupun kemampuan, sementara pengusaha didorong agar menggunakan kopi lokal, bukan hanya beli kopi jadi dari Jawa atau daerah lainnya.
Kalau ini dilakukan, semoga besok-besok aku bisa merasakan nikmatnya kopi Manggarai itu di tanah tempat produksinya.
Leave a Reply