Berpikir di luar kotak itu sudah basi.
Kini, waktunya berpikir lebih ekstrem lagi, buanglah jauh-jauh kotak yang membatasi pikiran itu. Kata Matthew Smith sih begitu.
Direktur Asia Pasifik Alltech, perusahaan global di bidang peternakan dan kesehatan hewan itu, berbicara dalam sesi tentang kepemimpinan. Sesi ini salah satu bagian dalam Young Leaders and Master Class yang diadakan International Federation of Agricultural Journalists (IFAJ).
IFAJ adalah organisasi jurnalis dan praktisi komunikasi di bidang pertanian. Tahun ini mereka mengadakan kongres di Hamilton, Selandia Baru. Sebagai bagian dari kongres, IFAJ mengadakan Young Leaders and Master Class selama dua hari mendahului kongres tiap tahun IFAJ.
Aku beruntung terpilih sebagai salah satu peserta di Master Class.
Kegiatan dua hari ini diikuti 16 jurnalis dari negara-negara berkembang maupun negara maju. Dari Asia, selain Indonesia juga ada Filipina, Vietnam, dan Nepal. Adapun dari negara maju ada, misalnya Kanada, Jerman, Irlandia, Swiss, Amerika Serikat, dan Australia.
Selama dua hari, kami berbagi pengalaman dan pandangan tentang situasi pertanian di negara masing-masing. Secara umum terlihat sekali bedanya. Di negara-negara maju seperti Australia dan Kanada, isu yang menonjol dalam pertanian adalah soal peternakan. Adapun negara-negara berkembang masih berkutat pada isu produksi, terutama rendahnya produktivitas.
Pertanian di sini memang konteksnya luas. Jika di Indonesia seolah terbatas pada budi daya tanaman, maka pertanian di negara-negara maju dipahami lebih luas. Di dalamnya termasuk peternakan, kehutanan, dan bahkan riset terkait pertanian.
Pada hari pertama, kami lebih banyak berdiskusi. Salah satunya dengan Matthew Smith dari Alltech yang berbicara tentang kepemimpinan. Salah satu kutipan menarik bagiku adalah soal membuang jauh-jauh kotak tersebut.
Materi tentang kepemimpinan itu melengkapi materi lain, misalnya tentang situasi pertanian di Selandia Baru, meliput isu pertanian, serta bagaimana membangun jaringan.
Pada hari kedua, kami berkunjung ke lapangan. Ini bagian menarik. Kami jadi bisa langsung melihat dan berdiskusi dengan petani di Selandia Baru.
Ada dua lokasi yang kami kunjungi pada hari kedua, Selasa, 13 Oktober 2015. Keduanya peternakan sapi perah.
David M Harris bersama istri, Marlene, dan tiga stafnya menyambut kami di salah satu bangunan milik mereka. Menggunakan kertas metaplan, David yang berumur 67 tahun, menceritakan sejarah peteranakannya.
Dari semula hanya mewarisi 40 hektar lahan milik keluarga, David kini punya 127 hektar lahan peternakan yang terbagi dalam enam blok. Tiap blok rata-rata seluas antara 16 hektar hingga 40 hektar.
Selama sekitar 2 jam kami di sana. Melihat staf-staf David merawat 300 sapi dan lahan rumput mereka.
Setelah makan siang kami melanjutkan kunjungan ke peternakan lain milik David Bennet dan anaknya, Jeremy Bennet. Mereka memiliki 1.500-an sapi di lahan seluas sekitar 400 hektar.
Kami juga melihat proses pemerasan susu di lahan milik keluarga Bennet ini. Proses ini dengan segala kecanggihannya, juga lansekap hijau berbukit-bukit, amat mempesona. Kecanggihan teknologi peternakan Selandia Baru berpadu indah dengan pesona alamnya.
Semuanya memukau. Panteslah jika negara ini maupun petaninya sangat bangga pada pertanian mereka.
Leave a Reply