Cerita tentang petani koka, bahan baku kokain, benar-benar tak terduga.
Awalnya, obrolan kami pekan lalu hanya seputar koperasi petani. Untuk topik itulah kami datang jauh-jauh ke Lamas, Provinsi San Martin, Peru. Provinsi ini berjarak 1,5 jam perjalanan dengan pesawat dari Lima, ibu kota Peru.
Namun, Hildebrando Cardenas Salazar, Direktur Utama Koperasi Petani Oro Verde justru memberikan cerita lain tentang cerita di balik sukses mereka. Ternyata pendiri koperasi ini adalah mantan petani koka, bahan baku untuk membuat kokain.
Lamas berada di daerah pegunungan Peru. Ketinggiannya sekitar 800 hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Lansekapnya berbukit-bukit. Tanahnya subur.
Di atas tanah-tanah subur itu, pohon koka tumbuh secara tradisional. Petani sejak dulu menanam pohon ini, mengolah daunnya sebagai obat atau bahan minuman serupa teh.
Pada 1990-an, muncul pemberontakan di Peru oleh Partai Komunis Peru, dan kemudian termasuk sempalannya seperti Gerakan Revolusioner Tupac Amaru (MRAT). Ideologi mereka Komunis Maois. Desa-desa di pedalaman Lamas jadi salah satu basis mereka selain di Ayacucho, daerah lahirnya gerakan ini, dan Junin.
Beberapa orang tua bercerita tentang kejamnya kelompok pemberontak ini, misalnya menembak orang-orang yang tak seideologi dengan mereka. Tapi, sebagian warga lain mendukung perjuangan itu. Petani di Lamas termasuk yang mendukung tersebut.
Koka menjadi bahan baku kokain yang dijual sebagai logistik bagi kelompok yang disebut teroris oleh pemerintah Peru. Petani menanam koka, membuat kokain, dan terlibat dalam pemberontakan. Menurut Hilderbarando, inilah yang disebut narcoterrorism.
Hilderbrando bercerita penuh antusias. Bagaimana proses pengolahan koka menjadi kokain tersebut. Dia tak membuat sendiri tapi mengikuti seluruh proses tersebut sehari-hari. Makanya fasih dan detail sekali dia bercerita.
Pada 1999, 56 petani koka mendirikan Koperasi Oro Verde. Hebat sekali. Bahkan petani pemberontak pun membuat koperasi. ? Dalam bahasa Spanyol, nama ini berarti emas hijau. Dia mengacu pada kekayaan hijau di tanah mereka, koka.
Pada zaman Alberto Fujimori berkuasa, perang besar-besaran terhadap para pemberontak mulai dilakukan. Begitu pula terhadap petani koka. Inilah masa di mana petani di Lamas dan sekitarnya pelan-pelan meninggalkan pertanian koka. Mereka mulai beralih ke komoditas lain, kopi dan kakao.
Dengan bantuan dari Badan PBB, para petani Lamas membudidayakan kopi dan kakao. Mereka berkembang cepat. Hanya dua tahun kemudian, petani sudah mendapatkan sertifikasi organik dan fair trade. Maklum, kopi dan kakao memang dua komoditas penting dalam bisnis pertanian internasional.
Kini, 15 tahun berselang, mereka memiliki 1.350 petani anggota yang tersebar di empat provinsi, termasuk Lamas. Komoditas mereka bertambah dengan aneka sayur dan madu. Kopi dan kakao mereka, dalam bentuk biji ataupun olahan, diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat.
Jika pada 1990an Lamas masuk titik merah sebagai daerah berbahaya, kini mereka masuk titik hijau, wilayah penting produsen produk pertanian.
Leave a Reply