Para penari itu seperti orang kesurupan.
Dengan hanya mengenakan celana penutup selangkangan, sepuluh remaja berusia belasan tahun itu memukul-mukul dadanya. Lidah menjulur serupa komodo hendak memakan mangsa.
Mata mereka membelalak. Tubuh bergetar. Kaki memasang posisi kuda-kuda. Lalu mereka menghentak-hentakkan kaki ke tanah. Mereka melakukannya sambil bernyanyi dalam bahasa lokal, Maori.
Tarian Haka yang mereka mainkan petang itu adalah tarian perang bagi Suku Maori, suku asli di Selandia Baru. Sekarang, tarian itu juga mereka mainkan ketika hendak bertanding dalam olah raga. Tujuannya menakut-nakuti lawan.
Tapi, petang itu mereka melakukannya untuk menyambut kami, sekitar 200 jurnalis peserta Kongres International Federation of Agricultural Journalists (IFAJ).
The Verandah, restoran tempat makan malam pembukaan Kongres IFAJ, berada persis di samping Danau Rotoroa. Halaman belakang mereka tak hanya berisi rumput hijau tapi juga danau seluas 54 hektar. Petang itu sinar matahari masih tersisa menyeruak di antara cabang-cabang pohon di sekitar danau.
Suhu udara hanya sekitar 15 derajat Celcius pada musim semi di Hamilton, kota tempat kongres. Namun, suasana hangat. Tak hanya oleh tarian dan anggur yang disajikan untuk menyambut tamu tapi juga perbincangan para peserta.
Aku duduk satu meja dengan peserta dari beragam benua: Asia, Eropa, dan Australia. Kami menikmati empuknya daging sapi dan kambing Selandia Baru sambil berbagi aneka cerita.
Pertanian menjadi topik utama. Tak hanya selama makan malam pembukaan Rabu malam itu tapi juga tiga hari selanjutnya, Kamis hingga Sabtu.
Meskipun disebut kongres, kegiatan selama empat hari itu tak terlalu banyak diskusi. Biasanya, dalam kongres-kongres yang aku ikuti, peserta akan saling mencalonkan jagoan masing-masing. Kongres biasanya bertujuan memilih pengurus organisasi baru.
Tapi, kongres IFAJ ini berbeda. Pemilihan hanya dilakukan pada hari pertama. Itu pun tak semua peserta. Hanya perwakilan tiap negara anggota IFAJ. Mereka hanya memilih bendahara. Presiden dan sekretarisnya masih sama.
Selama empat hari kongres, kami justru lebih banyak belajar mengenal situasi pertanian di Selandia Baru.
Tiap pagi, antara pukul 8.30 hingga pukul 12 ada sesi seminar. Topik dan pembicara dari negara tuan rumah. Pertanian dibahasa sangat luas. Misalnya soal pengelolaan hutan, peternakan, keamanan pangan, hingga perikanan.
Selesai makan siang, kami lanjut kunjungan lapangan ke tempat-tempat berbeda sesuai pilihan masing-masing peserta. Aku misalnya memilih ke koperasi susu pada hari pertama, tempat penelitian pada hari kedua, dan pengolahan keju pada hari ketiga.
Tiap selesai kunjungan, kami lanjut dengan makan malam. Lagi-lagi kami jadi bisa punya banyak waktu untuk saling ngobrol dan bertukar cerita. Singkatnya, belajar di ruangan, kunjungan ke lapangan, lalu lanjut diskusi di meja makan. Menyenangkan dan mengenyangkan. Perut maupun pikiran. ?
October 29, 2015
di tunggu cerita pengelolaan hutan ala Selandia, Kak. 😛