Tiga polisi berpakaian preman sudah menunggu kami dengan manis.
Akhir November lalu, aku hendak kembali ke Bali via Amsterdam. Claudia, teman selama di Ekuador dan Peru, menemaniku melapor (check in) di loket maskapai KLM Bandara Mariscal Sucre, Quito, Ekuador.
Ketika kami baru mau melapor, tiga polisi itu bertanya kepada kami dalam Bahasa Spanyol tentang asal dan tujuan kami.
“From Indonesia. Will back to Bali,” kataku kepada mereka.
Respon salah satu dari tiga polisi berpakaian preman itu membuatku kaget. “Anton ya?” tanyanya dengan yakin. Bibirnya sedikit tersenyum. Bagiku dia terasa seperti mengejek, “Jangan macam-macam. Aku tahu siapa kamu..”
Aku mengiyakan pertanyaan mereka.
Heran saja. Bagaimana mereka bisa tahu namaku di negara yang jauhnya minta ampun dari Indonesia ini. Ah, tapi mereka polisi. Pekerjaan mereka memang untuk menyelidik. Sepertinya mereka sudah punya catatan nama-nama khusus yang harus diawasi.
Ini hanya campuran antara GR dan asumsi.
Pertanyaan serupa, dari mana asal dan mau ke mana, mereka ajukan kepada tiap pengunjung. Mata mereka penuh selidik. Aku malas bertanya untuk apa mereka melakukan itu. Khawatir kalau urusan jadi panjang.
Maka, begitu selesai ditanya tiga polisi berpakaian preman itu, aku langsung lanjut lapor di loket maskapai KLM, masukin koper ke bagasi, melewati mesin pemeriksa (x-ray), dan menuju ruang tunggu.
Aku pikir sudah beres. Eh, ternyata belum.
Dua polisi berpakaian seragam menghentikanku ketika menuju ruang tunggu. Salah satu petugas mengajakku ke ruangan khusus. Setelah basa-basi sebentar, mereka lalu memeriksa tas punggungku.
Tiap bagian tas dibuka, termasuk tas-tas kecil tempat laptop dan perkakas lain. Sebal rasanya diperlakukan layaknya penjahat begini. Tapi ya mau apa lagi. Pasrah saja.
Sekitar 10 menit, pemeriksaan beres. Tidak ada apa-apa yang mencurigakan di tasku. Tentu saja.
Aku pun melenggang kangkung ke ruang tunggu. Masih ada sekitar 2 jam sebelum penerbangan ke Amsterdam selama sekitar 13 jam.
Beres semua, pikirkku. Tinggal menunggu penerbangan.
Ketika menunggu boarding, samar-samar aku mendengar namaku dipanggil petugas bandara. Tidak terlalu jelas. Aku coba dengar lebih saksama ternyata tidak ada panggilan lagi.
Oh, mungkin orang lain. Toh aku sudah beres dengan semua urusan. Tinggal mabur.
Sekitar 30 menit kemudian, aku dengar lagi panggilan untuk beberapa nama. Aku salah satu di antaranya.
Aku pun menuju petugas di pintu masuk pesawat. Walah. Ternyata masih ada pemeriksaan lagi. Kali ini lebih gawat.
Petugas maskapai membawaku ke satu ruangan khusus. Di sana sudah ada tiga polisi dengan pakaian khusus. Dari pakaian dan cara mereka bekerja, aku yakin mereka petugas khusus. Semacam unit khusus untuk narkoba.
Aku antre di antara sekitar 10 orang lain. Tiga petugas itu memeriksa koper kami satu per satu, termasuk koper yang sudah dibungkus plastik (wrapped) sekalipun.
Wajah petugas-petugas itu lebih garang. Aura pemeriksaan pun terasa lebih gawat. Aku sempat hendak merekam suasana tersebut. Petugas langsung melarang begitu aku mengeluarkan ponsel. Kemudian aku hanya menunggu.
Tibalah giliranku. Koper dan isinya yang sudah rapi jali dibongkar (lagi). Satu per satu pakaian dibuka. Mereka memeriksa bagian-bagian lain koper yang, ajaibnya, aku sendiri baru tahu ada bagian tersebut.
Sempat khawatir juga. Jangan-jangan ada barang “aneh bin ajaib” yang tiba-tiba masuk di koper tanpa aku sadari. Untungnya tak ada apa pun. Aku selamat dan bebas melanjutkan perjalanan pulang.
Tinggallah kemudian pikiran tentang betapa gawat pemeriksaan di Bandara Quito ini. Beberapa kali ke luar negeri, baru kali ini aku mendapat pemeriksaan berlapis dan seketat ini.
Dugaanku, ketatnya pemeriksaan ke luar negeri dari Ekuador ini karena Amerika Selatan termasuk kawasan produsen narkoba, terutama jenis kokain. Adapun Asia Tenggara, termasuk Bali, adalah pasar menggiurkan bagi para pengedar.
Tak berlebihan. Beberapa warga Indonesia saat ini ditahan di Peru karena terlibat dalam penyelundupan narkoba. Satu di antaranya malah dari Bali. Begitu kata Dubes Indonesia di Peru ketika kami ngobrol pertengahan November lalu. Pasar mereka Asia Tenggara, seperti Thailand dan Bali.
Jadi ya, kini aku yang jadi “korban” ketatnya pemeriksaan.
December 23, 2014
Widiiihhhhh … ngeri banget, Mas? Saya baca tulisannya Mas Anton satu ini jadi kebayang layaknya di film-film action barat saja. Kalau saya diperlakukan seperti itu, mungkin sudah pingsan karena ketakutan, Mas. #serem