Membayangkannya saja aku sudah capek.
Perjalanan para staf WWF Indonesia Program Papua ini benar-benar penuh perjuangan. Selain medan jauh dan menantang, transportasi juga susah.
Aku bayangkan, misalnya, perjalanan Agus Wianimo yang sekarang menjadi Koordinator Program Hutan di wilayah Asmat. Dari Jayapura ke Asmat, dia harus naik pesawat ke Timika selama satu jam. Setelah menginap satu malam di Timika, dia lanjut naik kapal laut selama 12 jam.
Itu belum selesai. Dari pelabuhan ke tempat penginapan, dia harus jalan kaki lagi sepanjang 5 km. Medannya menantang. Seluruh Kota Agats, kota seluas 300 hektar, dibangun di atas rawa-rawa. Warga harus berjalan di atas papan kayu.
“Jika tercebur sangat berbahaya. Bisa tenggelam atau tertusuk kayu lancip di bawahnya,” kata Agus dalam sebuah obrolan.
Agus salah satu peserta pelatihan jurnalistik di Abepura, Papua pekan lalu. Ada sebelas peserta pelatihan yang kadang lengkap, kadang hilang sebagian. Mereka bagian dari 60-an staf WWF Indonesia Program Papua yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat.
Selama empat hari memandu pelatihan, aku tak hanya berbagi pengetahuan dan pengalaman tentang jurnalistik tapi juga belajar banyak dari mereka. Tentang keteguhan memperjuangkan kelestarian lingkungan di medan yang amat berat.
Hampir semua peserta menceritakan hal sama.
Berada jauh dari pusat kekuasaan, Jakarta dan Jawa, Papua memang masih menghadapi banyak tantangan. Selain karena secara geografis memang besar, lebih dari tiga kali luas Pulau Jawa, infrastruktur juga masih belum tersedia dengan baik.
Aku sendiri tidak sampai ke lokasi-lokasi program. Cuma sempat diajak ke lokasi program kakao di Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura. Baru sekitar dua jam perjalanan saja sudah ngos-ngosan, apalagi mereka yang sampai berhari-hari ke lokasi program.
Lokasi program itu tersebar di setidaknya enam lokasi program (site). Antara lain di Taman Nasional Lorentz, Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Taman Nasional Wasur, Kepulauan Kei, dan Asmat.
Isunya pun beragam. Tak melulu tentang flora fauna tapi juga peningkatan taraf hidup atau bahkan tata kota. Di Merauke, misalnya, WWF Indonesia melaksanakan program pembangunan kota secara partisipatif. Di Taman Nasional Lorentz termasuk mendampingi petani kopi.
Para pejuang lingkungan itu bekerja di tempat-tempat terpencil yang jauh dari keriuhan dan keluarga. Sesuatu yang, haqqul yakin, tak mungkin bisa aku lakukan.
Leave a Reply