Wacana tentang rencana penerapan wisata syariah di Bali makin ramai.
Tak hanya di media arus utama ataupun media sosial tapi juga sudah sampai di tingkat aksi. Beberapa kelompok di Bali sudah berdemo menolak wacana ini.
Ibarat bola salju, wacana ini terus menggelinding, membesar, dan belum jelas akan berhenti di mana. Saya juga tidak mengerti akan sampai titik mana dan kapan selesainya.
Pemicu
Sejauh yang bisa saya temukan di media daring, hiruk pikuk ini berawal dari pernyataan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Bali Dadang Hermawan. Menurut berita di Republika, Dadang berharap bisa membangun desa percontohan sebagai desa syariah di Bali.
Kutipan lengkapnya seperti di dua paragraf berikut:
Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Bali Dadang Hermawan berharap bisa membangun desa percontohan sebagai desa syariah di Bali.
“Para pelaku wisata akan dibina bagaimana cara mengakses keuangan syariah serta menggarap potensi pasar pariwisata syariah di Bali,” ujar Dadang, Senin (16/11).
Pernyataan Dadang itu hanya dua dari tujuh paragraf keseluruhan berita. Selebihnya justru lebih banyak pernyataan Ketua MES Pusat Dr Muliaman D Hadad. Poinnya tentang potensi Indonesia menjual wisata syariah. Menurut Muliman, negara lain, seperti Thailand dan Korea justru lebih bergairah menyiapkan wisata syariah.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut bagaimana konteks peristiwanya sehingga pernyataan itu bisa muncul. Padahal, melepaskan peristiwa dari konteksnya agak berbahaya. Bisa salah memahami keseluruhan maksud pernyataan tersebut.
Dadang sendiri kemudian membantah telah mengeluarkan ide tersebut. Saat berdiskusi di Perguruan Sandhi Murthi milik Ngurah Harta dengan beberapa komunitas, Dadang mengklarifikasi.
Sebagai Ketua MES yang baru dilantik pada pertengahan November lalu, dia menyampaikan rencana programnya. Salah satu di antaranya adalah membina desa yang mayoritas muslim di Bali sebagai pengembangan ekonomi syariah.
Meskipun dikenal sebagai Pulau Para Dewa, Bali memang memiliki beberapa desa dengan komunitas muslim banyak, seperti di Saren Jawa dan Ujung (Karangasem), Pegayaman (Buleleng), dan lain-lain. Bagi saya sih desa-desa itu justru membuktikan bahwa sejak zaman baheula, Bali sudah menjunjung tinggi toleransi.
Sandhi Murthi dan Ngurah Harta memang memberikan perhatian terhadap isu-isu terkait keberagaman di Bali. Mereka beberapa kali merespon isu sensitif ini dengan semangat kekeluargaan, diskusi baik-baik.
Dalam diskusi itu, Dadang juga sudah minta maaf jika wacana itu membuat perasaan tidak nyaman bagi masyarakat Bali.
Substansi
Tapi begitulah bola salju yang liar terus menggelinding. Berbagai komentar miring pun berseliweran di media sosial dan media arus utama. Hal yang bukannya menyelesaikan tapi malah mengeruhkan.
Mengenai label wisata syariah, sejak awal saya sudah yakin, label-label halal ataupun syariah saat ini lebih banyak bertujuan bisnis daripada agama. Ini termasuk ide wisata syariah di Bali. Label syariah ini pada akhirnya serupa label organik, fair trade, dan lain-lain. Mereka hanya menyasar niche market atau pasar khusus pada kelompok tertentu.
Karena hanya label, maka tidak usahlah “memaksakan” label syariah ini di Bali ataupun komunitas non-muslim lain. Terlalu sensitif. Urusan halal dan syariah itu biarkan jadi urusan masing-masing. Praktikkan saja nilai-nilainya.
Toh, substansi dan nilai itu lebih penting daripada label.
Apalagi, dalam praktiknya, nilai-nilai ekonomi syariah toh sudah diterapkan di Bali meskipun tidak ada label. Sekadar contoh soal makanan halal. Dari ujung ke ujung Bali, Anda dengan mudah akan menemukan warung-warung muslim plus label halalnya.
Begitu pula dengan tempat sholat. Banyak kok hotel ataupun restoran di Bali yang menyediakan musholla meskipun pemiliknya non-muslim. Silakan saja ke Warung Be Pasih Renon, Denpasar, sebagai salah satu contoh.
Jika memang niat label syariah hanya jualan, masih banyak kok tempat lain yang cocok buat dikasih label. Tetangga Bali, seperti Lombok dan Banyuwangi, bisa jadi contohnya. Hitung-hitung sekalian meluaskan pariwisata biar tidak numplek blek di pulau ini.
Leave a Reply