Bulu kuduk langsung berdiri. Darah berdesir di tengkuk.
Melihat barisan perahu itu, aku merinding. Tubuh menggigil sebentar seperti gemetar.
Ratusan perahu itu berbaris rapi di pantai timur Tanjung Benoa. Tempat ini tiap hari memang penuh dengan perahu. Ada perahu nelayan. Perahu cepat, perahu berlantai kaca (glass bottom boat), dan perahu wisata lainnya.
Namun, Jumat pekan lalu, mereka berjejer rapi dengan bendera yang nyaris sama semua. Bendera putih dengan tulisan merah, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI). Ada pula bendera putih dengan garis merah dan tulisan hitam, Tanjung Benoa Tolak Reklamasi.
Bendera-bendera itu berada di semua perahu. Penumpang di dalamnya juga membawa spanduk atau poster bernada sama, Tolak Reklamasi Teluk Benoa.
Angin bertiup kencang. Bendera berkibar-kibar.
Melihat barisan perahu sore itu, pikiranku langsung teringat salah satu bagian dalam novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Secara singkat, bagian ini menceritakan ketika tokoh utama Wiranggaleng memimpin ribuan perahu untuk menyerbu Portugis di Malaka.
Wiranggaleng, pemuda desa dari Tuban itu hendak melawan arus besar para penjajah Portugis dan Spanyol yang ketika itu hendak menguasai kerajaan-kerajaan di Nusantara. Wiranggaleng menciptakan arus sendiri, melawan arus besar konolinalisme saat itu.
Sore itu, aku seperti melihat perahu-perahu pasukan Wiranggaleng di Teluk Benoa. Mereka memang tak menuju ke Malaka di mana pasukan Portugis berada. Mereka menuju Teluk Benoa, kawasan seksi yang kali ini jadi rebutan banyak investor.
Teluk Benoa dikepung bandara terbesar dan pelabuhan laut tersibuk di Bali. Ada jalan tol pertama dan, konon, tercantik di Indonesia melintasinya. Teluk ini di antara tiga segi tiga emas pariwisata Bali yaitu Sanur, Kuta, dan Nusa Dua.
Teluk Benoa sungguh seksi. Maka, teluk seluas sekitar 1.300 ha ini hendak dikorbankan atas nama pariwisata. Padahal teluk ini adalah daerah resapan air, hutan mangrove terbesar di Bali, kawasan suci, dan seterusnya.
Maka, warga menolak rencana investor untuk mereklamasi Teluk Benoa. Tak hanya dari daerah sekitar teluk seperti Tanjung Benoa, Kelan, Kedonganan, Jimbaran, Sanur, dan Suwung tapi juga daerah lain di Bali seperti Sukawati, Ubud, Negara, Bangli, dan Karangasem.
Sore itu mereka bergerak bersama dengan perahu. Berada di antara mereka, mau tak mau aku mengalami semacam euforia, “Inilah kami yang tak mau tanah kami dieksploitasi tanpa henti atas nama pariwisata.”
Perahu-perahu berjejer dan melaju dari arah timur Tanjung Benoa. Mereka melintas sisi utara tanjung, yang berada antara Pelabuhan Benoa dan Tanjung Benoa.
Sebuah kapal perang yang kebetulan lewat mau masuk pelabuhan menambah dramatis suasana.
Perahu-perahu melaju. Ada speed boat. Ada jetski. Ada banana boat. Mereka berpawai mengelilingi sisi utara tanjung dan berputar-putar di bawah jalan tol.
Sepanjang perjalanan selama sekitar 1,5 jam itu gamelan khas Bali riuh ditabuh. Yel-yel diteriakkan. Lagu-lagu tolak reklamasi dikumandangkan. Mereka melawan arus besar pariwisata dengan penuh kegembiraan.
Lalu mereka berhenti di tanah timbul di teluk. Satu per satu mereka berorasi. Bersuara menolak rencana reklamasi.
Di Teluk Benoa warga Bali menciptakan arus balik untuk melawan arus besar bernama pariwisata yang hendak menciptakan petaka di tanah mereka.
Leave a Reply