Benarkah Ada Diskriminasi terhadap Islam di Bali?

0 , , Permalink 0

toleransi agama bali

Akhirnya saya tergoda juga untuk menulis topik ini.

“Setan” penggodanya bernama riuhnya linimasa yang membahas topik ini. Akhir pekan lalu, topik tersebut berseliweran di media sosial dari pagi hingga malam.

Sekitar seminggu sebelumnya, beberapa teman juga bertanya kepada saya lewat WhatsApp, Twitter, atau Facebook: benarkah ada larangan berjilbab dan gerakan anti-Syariah di Bali?

Sekilas saya baca di Facebook ataupun Twitter isu tentang larangan berjilbab tersebut ternyata isu lama. Kejadiannya di SMA 2 Denpasar sekitar Februari lalu.

Minggu pagi saya baca, ternyata larangan berjilbab di SMA 2 Denpasar tersebut sudah selesai masalahnya. Sudah jelas, pihak sekolah tidak pernah melarang siswi muslim untuk tetap berjilbab di sekolah sesuai keyakinannya. Sebatas yang saya tahu, di sekolah-sekolah negeri lain di Denpasar juga siswi muslim bebas berjilbab.

Berarti, sudah selesai dong.

Spanduk Anti Busana Muslim

Eh, ternyata tidak juga. Di media sosial masih ramai. Katanya ada larangan memakai busana muslim di Bali. Ini kasus yang berbeda dibandingkan kasus di SMA 2 Denpasar. Setelah saya cek dan cek lagi, sumbernya adalah dua foto yang sering diperbincangkan.

Kedua foto ini serupa. Isi foto pertama aksi menolak pendirian bank syariah di Bali. Foto kedua berupa spanduk dengan isi Menolak Pemakaian Busana Muslim untuk Karyawan Smartfren (Bali Tolak Gerakan Syariah).

Dalam kehidupan sehari-hari, tak ada gejolak sama sekali. Setidaknya di gang tempat saya tinggal di pinggiran Denpasar. Saya dan keluarga yang muslim masih bertegur sapa biasa dengan tetangga yang Hindu. Begitu pula anak-anak di gang yang berbeda-beda agama, Hindu, Islam, dan Kristen. Mereka bermain tanpa pernah mempersoalkan apa agama dan etnis mereka.

Tapi di linimasa ternyata masih ramai. Sumbernya lagi-lagi dua foto tersebut. Hanya dua foto tersebut tapi digoreng ke sana kemari dengan isu besar, umat Islam di Bali mengalami diskriminasi.

Jadi, benarkah ada diskriminasi terhadap umat Islam di Bali?

Daripada menjawab ya atau tidak, saya ingin membahas kasus per kasus saja dulu. Karena satu dua kasus tidak bisa dibuat menggeneralisir semua kasus. Satu dua orang tak bisa dianggap mewakili keseluruhan orang di Bali, seperti juga kelakuan satu dua muslim tak bisa dianggap mewakili seluruh muslim.

DEMO-SYARIAH-31

Mari bahas satu per satu.

Dua foto yang ramai didiskusikan di dunia maya tersebut berasal dari aksi penolakan sekitar satu bulan ini. Isinya, sekali lagi, penolakan terhadap (1) pemakaian busana muslim di Smartfren dan (2) bank syariah di Bali. Otak sebenarnya dari dua penolakan ini adalah Arya Wedakarna.

Kalau mau tahu tentang Arya Wedakarna dan pikiran-pikirannya, bisa baca wawancara panjang saya dengan dia. Ada juga tulisan-tulisan lain tentang dia di sana.

Eh, sori. Abaikan saja wawancara tak jelas itu. Baca saja langsung komentar-komentarnya. Biar tahu bagaimana anak-anak muda (di) Bali yang melek informasi menilai dia.

Arya Wedakarna ini sering bikin kontroversi karena sikapnya. Dia bayar koran untuk memuat komentar-komentarnya tersebut. Motifnya, bagi saya hanya untuk cari sensasi. Mencari popularitas.

Beberapa kontroversinya adalah ketika mempersoalkan penggunaan Garuda Wisnu Kencana di album Iwan Fals, memprotes sampul buku Dewi Lestari, menolak penggunaan nama Swastiastu oleh sekolah Katolik, mengimbau umat Islam untuk tidak menyembelih sapi saat Idul Adha, dan banyak lagi.

Dia mengaku sebagai Raja Majapahit di Bali, hal yang justru diprotes oleh para raja sebenarnya di Bali. Dia juga pernah bentrok dengan penjaga pura di Jagatnatha, Sudirman.

Jelas kan? Dia “menyerang” siapa saja yang dia anggap tidak sesuai dengan pikirannya. Tak hanya umat Islam tapi juga seniman, Kristen, bahkan Hindu sendiri.

Semoga ini bisa menjelaskan bahwa mereka yang menolak busana muslim dan bank syariah bukanlah mayoritas umat Hindu di Bali. Tidak pernah ada penolakan secara terstruktur, masif, dan sistematis. Hihihi..

Penolakan tersebut tidaklah dilakukan oleh, misalnya, Pemprov Bali, desa adat, atau lembaga-lembaga resmi yang lebih memiliki otoritas mewakili umat Hindu di Bali daripada Arya Wedakarna dan gerakan-gerakan lain yang dia ciptakan.

Bagi saya, Arya Wedakarna hanyalah bagian kecil yang sering membuat riuh dalam harmoni keberagaman di Bali. Mereka memberikan pelajaran bahwa fundamentalisme itu ada di tiap agama. Ironisnya meskipun sedikit, kaum fundamentalis tiap agama ini sangat berisik sehingga mengganggu harmoni.

Padahal, yang mereka persoalkan sering kali bukan isi tapi bungkus, bukan substansi tapi simbol. Begitu pula dalam kasus penolakan terhadap busana muslim dan bank syariah di Bali.

Begini konteks sejauh yang saya tahu. Penolakan terhadap pemakaian busana muslim muncul karena adanya pemakaian busana muslim di beberapa tempat saat menjelang Idul Fitri. Dua tempat yang mereka persoalkan adalah di jalan tol Bali dan di Smartfren.

Pemakaian busana muslim ini sebenarnya hanya gimmick. Saya haqqul yakin itu. Ini hanya pemakaian baju agama tertentu menjelang hari raya agama itu. Pakai baju muslim, tepatnya kerudung dan peci, menjelang lebaran sama saja dengan pemakaian pakaian santa klaus menjelang Natal.

Gimmick ini semata untuk keperluan pemasaran, bukan formalisasi ajaran Islam apalagi hingga formalisasi syariat Islam di Bali.

Tapi ya oleh fundamentalis seperti Arya Wedakarna, simbol ini ditanggapi dan digoreng sedemikian rupa untuk memicu sentimen terhadap Islam. Di sisi lain, para fundamentalis Islam menggoreng isu ini seolah-olah seluruh Bali menolak Islam sehingga muncul sentimen terhadap Hindu dan Bali.

Kloplah, fundies ketemu fundies.

Padahal ini cuma simbol. Istilah busana muslim sendiri, menurut saya, tak tepat. Kerudung dan peci tidaklah bisa disebut sebagai busana muslim. Islam tak pernah punya pakaian tertentu. Tidak juga gamis dan burqa layaknya orang-orang di Asia Selatan atau Timor Tengah.

Apa yang disebut busana muslim, kadang hanya sesuatu yang sering dipakai orang Islam. Padahal ya akarnya mungkin dari negara lain. Misalnya baju koko, dari namanya saja sudah jelas itu baju tradisional China. Tapi oleh “pasar” dia diidentikkan dengan Islam. Begitu pula peci. Bukankah orang-orang India yang mayoritas Hindu justru sering memakai peci?

Karena itu, penolakan oleh Arya Wedakarna dan gangnya terhadap apa yang identik dengan Islam, sebenarnya kebablasan. Tidak tepat.

Begitu pula soal bank syariah. Menurut saya, maraknya bank syariah di dunia saat ini, motor utamanya bahkan di negara sekuler seperti Inggris, hanyalah semata ekonomi. Sistem bank syariah dianggap bisa memberikan alternatif dari sistem bank konvensional selama ini.

Saya bukan penggemar syariat Islam. Saya menolak formalisasi agama di ruang publik, termasuk Perda atau aturan lain oleh negara yang memformalkan syariat Islam. Bagi saya, agama sesuatu yang sangat personal. Negara tak perlu campur tangan urusan saya mau sholat atau tidak, mau bayar zakat apa tidak, dan semacamnya. Agama adalah urusan saya sama apa yang saya percayai.

Tapi, menurut saya tak masalah kalau ada sistem perbankan alternatif dari sistem konvensional yang ada. Konteksnya adalah ekonomi. Yang penting dia tak memaksa orang untuk mengikutinya seperti penerapan Syariat Islam jika dilegalformalkan oleh Negara.

Dua kasus tersebut kemudian melahirkan pertanyaan terakhir: benarkah umat Islam di Bali memang mengalami diskriminasi?

Secara umum tidak. Bahkan amat harmonis. Islam di Bali ini sudah ratusan tahun umurnya. Dia sama tuanya dengan kedatangan orang-orang Majapahit yang lari ke Bali setelah desakan Islam di tanah Jawa. Beberapa bukti sejarah membuktikan bahwa ketika pasukan Majapahit pindah ke Bali –mereka inilah yang disebut sebagai orang Bali saat ini—termasuk di dalamnya juga beberapa muslim.

Sejak itu Islam sudah mulai masuk dan berkembang di Bali meski dalam skala kecil.

Harmoni Islam dan Hindu di Bali mewujud pula dalam beberapa pura yang menggunakan simbol-simbol Islam. Ada Pura Langgar di Bangli. Ada makam di daerah Pemecutan Denpasar. Dan seterusnya.

Secara historis, komunitas-komunitas Islam dilindungi oleh kerajaan Bali zaman dulu. Misalnya di Serangan dan Kepaon (Denpasar), Saren Jawa (Karangasem), atau Pegayaman (Buleleng). Mereka berdampingan mesra dengan warga dan desa-desa Hindu di sekitarnya.

Dalam kehidupan sehari-hari pun tak terlalu soal. Coba sesekali ngobrol di pasar atau tempat publik lain. Ibu haji jualan emas biasa berteman mesra dengan ibu Hindu yang jualan babi. Ada pula ibu berjilbab jualan nasi kuning dan berteman akrab dengan penjual canang, persembahan umat Hindu untuk sembahyang.

Intinya, harmoni itu berjalan mesra. Bahwa ada beberapa gejolak memang iya. Bahwa ada sentimen antar-agama, kadang-kadang memang ada. Tapi, dalam pergaulan sehari-hari orang Bali umumnya tak terlalu mempersoalkan agamanya apa. Yang penting bagaimana kelakuannya.

Bukankah begitu seharusnya kita menilai manusia, dari bagaimana sikap dan tindakannya, bukan dari apa agama dan etnisnya?

No Comments Yet.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *