Menyenangkan sekali obrolan Minggu pagi di group WhatsApp keluarga kami.
Topik obrolan hangat kami dua hari lalu adalah tentang agama, religiositas, dan semacamnya. Tema itu tidak ditentukan tapi muncul begitu saja setelah ada yang curhat tentang orang-orang yang kabur tanpa mencuci piring atau bantu bersih-bersih setelah ikut pengajian.
Padahal mereka yang kabur begitu saja sudah dapat pengajian dan makan gratis.
Obrolan kemudian berlanjut, kenapa sih orang pinter agama kok kadang tak sesuai dengan perilaku sosialnya? Bagaimana seseorang bisa dianggap baik dalam beragama? Dan seterusnya.
Ini obrolan santai dengan sesama saudara maupun sepupu yang tersebar di beberapa tempat seperti Bengkalis (Riau), Brunei, Malang, Surabaya, dan Bali. Ah, terima kasih teknologi yang memudahkan kami ngobrol bersama kapan saja seperti saat ini.
Tema tentang agama sepertinya paling sering kami diskusikan di luar kabar tentang keluarga. Nah, pada diskusi kali ini ada beberapa kesimpulan, dibuat oleh anak-anak muda yang masih mahasiswa.
Ini di antaranya yang menurutku menarik.
Pertama, pada dasarnya semua agama mengajarkan kebaikan. Agama yang dewasa adalah ia mengganggap agama lain itu sebagai kawan bukan lawan.
Kedua, bicara soal agama tentu bicara soal keyakinan. Orang Kristen yang berfikir negatif tentang Islam dan Yahudi pasti ia akan menjelek-jelekkan Islam. Begitu juga orang Islam yang bersifat negatif terhadap agama lain pasti akan menjelek-jelekkan agama lain.
Toh, kita tidak akan bisa menemukan kebenaran, karena kebenaran hanya milik Tuhan. Karena itu, jangan berambisi untuk mencari kebenaran (merasa paling benar).
Ketiga, hal yang paling menyenangkan, dan menurutku membanggakan, kesimpulan seperti itu justru lahir dalam obrolan keluarga. Ngobrol dalam suasana santai, bukan dalam seminar yang resmi dan formal.
Mereka yang menyimpulkan pun anak-anak muda dalam keluarga kami yang masih mahasiswa. Menyenangkan dan membanggakan bagiku karena anak-anak muda yang alim dan rajin ikut pengajian ini pun bisa terbuka terhadap toleransi beragama.
Keluargaku ini termasuk kelompok alim urusan agama. Ada yang alumni Universitas Kairo, Mesir. Ada dosen Universitas Muhammadiyah Malang. Ada guru ngaji. Dan seterusnya. Namun, meskipun menurutku ilmu agama mereka di atas rata-rata, toh mereka berpikiran terbuka. Tidak konservatif dalam beragama ataupun toleransi.
Ini yang terus perlu dikembangkan. Sembari rajin ikut pengajian berkala di komunitas, tak melulu tentang ritual tapi juga kesalehan sosial, anak-anak muda ini juga rajin ngobrol tentang perlunya toleransi.
Seiring kian kuatnya kekakuan dan ketertutupan atas nama agama, seiring itu pula diskusi agar beragama lebih progresif dan terbuka harus rajin dilakukan. Dan, menurutku, keluarga bisa jadi tulang punggungnya.
Obrolan tentang toleransi agama bisa dilakukan sembari makan bersama, sambil duduk mandi, dan semacamnya. Dengan cara ini, toleransi beragama bisa lebih mengakar, masuk dalam ruang-ruang pribadi, tak hanya dalam forum resmi seminar atau diskusi.
Ilustrasi diambil dari sini.
April 30, 2014
banyak hal luar biasa dimulai dari hal-hal sederhana, termasuk ngrumpi di wasap bareng kluarga. haha..
Kiky, Nelly, Yai, Badrudin memang generasi yang tokcerrr :p
May 6, 2014
Berbeda-beda tetapi tetap beda jua.